Malang Post – Mulai bulan Juli 2022, Indonesia akan menerapkan tarif pajak karbon pada perusahaan yang bergerak di bidang batubara. Kebijakan ini diambil sebagai bentuk respon Indonesia terhadap isu perubahan iklim yang saat ini menjadi salah satu fokus utama Pemerintah untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41 % dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Dari segi ekonomi, potensi kerugian ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim mencapai 0,66% s.d. 3,45% PDB pada tahun 2030 ( Roadmap NDC Adaptasi, 2020). Meskipun kebijakan ini bagi penulis memiliki urgensi yang tinggi, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menjalankan kebijakan tersebut.
Kebijakan pajak karbon sudah diatur dalam Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 yang mengatur pengenaan pajak karbon pada wajib pajak badan atau orang pribadi yang membeli barang mengandung CO2 atau menghasilkan emisi karbon.
Ketentuan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 ini juga memberikan 2 Poin pembeda dari usulan awal pemerintah dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Pertama adalah sinergitas kebijakan pasar karbon dengan peta jalan pajak karbon yang dimuat dalam pasal 13 ayat 2, 3 dan 4. Kedua, dalam pasal 13 ayat 13, pemerintah memberikan pengurangan pajak karbon untuk wajib pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon yang selanjutnya diturunkan menjadi skema kombinasi antara kebijakan cap and trade dengan carbon tax sehingga dikenal dengan sebutan cap and tax.
Kebijakan cap and trade merupakan skema pemberian batas maksimum emisi yang seharusnya dihasilkan oleh perusahaan sehingga apabila jumlah emisi yang dihasilkan oleh perusahaan berada dibawah batas maksimum atau cap, perusahaan tersebut dapat memperdagangkan SIE atau Surat Izin Emisi pada perusahaan lain yang apabila skema cap and trade dipadukan dengan kebijakan pajak karbon, selain dikenakan batas maksimum emisi, perusahaan harus membayar kelebihan emisi yang dihasilkan tersebut dengan membayar pajak.
Sebaliknya, ketika jumlah emisi sebuah perusahaan berada di bawah cap yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan, maka perusahaan tersebut tidak akan dikenakan pajak. Kebijakan ini dapat mendorong perusahaan agar memilih untuk mengalokasikan pendapatannya untuk investasi teknologi ramah lingkungan agar emisi yang dihasilkan tidak mencapai batas maksimum cap yang telah ditetapkan pemerintah.
Hadirnya batas maksimum cap pada skema pajak karbon membuat penambahan biaya yang harus ditanggung perusahaan akibat dari masuknya pajak dalam biaya produksi mereka dapat diminimalisir, karena Perdagangan Ijin Emisi (Emission Trading System/ ETS) dan Offset Emisi (Crediting Mechanism) yang diatur dalam skema cap and tax akan memberikan pilihan bagi Entitas yang mengemisi lebih dari cap untuk membeli ijin emisi (SIE) dari entitas yang mengemisi di bawah cap atau membeli sertifikat penurunan emisi (SPE/offset karbon) sehingga pajak karbon yang dibayarkan dapat lebih kecil.
Hal ini jelas sesuai dengan 2 prinsip utama pengenaan Pajak Karbon yakni “Adil” berdasarkan pada “prinsip pencemar membayar” dan “Terjangkau” Memperhatikan aspek keterjangkauan demi kepentingan masyarakat luas.
Dari segi Point of Taxation Indonesia menerapkan skema cap and tax di level Upwards yaitu pada industri Energi batubara. Pemilihan ini sendiri sudah sinergis dengan tingkat sumbangsih batubara yang dominan mencapai sebesar 38 % dari seluruh energi fosil yang digunakan.
Pengenaan pajak pada sektor ini berpengaruh besar untuk menurunkan emisi sesuai target NEDC apalagi dengan dominasi energi batubara di masyarakat, penambahan biaya dari pembebanan pajak dalam biaya produksi listrik PLTU batubara akan membuat harga pasar listrik yang dibeli oleh masyarakat akan sedikit lebih tinggi dari harga semula.
Akibatnya, masyarakat secara positif akan beralih pada energi listrik yang lebih ramah lingkungan seperti dengan menggunakan lampu dengan tenaga surya atau dengan lebih menghemat penggunaan listrik rumah tangga. Jika berbicara mengenai tarif sendiri, Indonesia menerapkan tarif pajak yang tergolong rendah.
Merujuk pada Peta Jalan Pajak Karbon, Indonesia mengenakan tarif sebesar Rp30.000 atau sekitar US$2,09 per ton emisi karbon dioksida ekuivalen (tCO2e). Tarif tersebut tidak jauh berbeda dengan tarif yang dikenakan oleh Jepang. Jepang mengenakan tarif pajak karbon sedikit lebih tinggi yaitu sebesar JPY 2,89/ t-Co2 ($2.65). Tarif pajak karbon Jepang mampu membantu mengurangi emisi karbon sebesar 0,5% dari total emisi sebelumnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya Cap dan tarif pajak karbon ini, secara bertahap akan memberikan dampak pada pengurangan tingkat emisi dan mampu mendesak para pelaku ekonomi untuk mengganti teknologi industri yang lebih ramah lingkungan.
Hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah mengenai sistem alokasi dan pembiayaan yang timbul dari adanya Pajak Karbon. Pemerintah dapat menggunakan konsep earmarking tax untuk mengalokasikan penghasilan yang didapatkan dari pajak karbon dengan metode Green Spending.
Green Spending sendiri merupakan alokasi pendapatan pajak untuk membiayai kegiatan berkaitan dengan lingkungan, misalnya mitigasi perubahan iklim, pembiayaan infrastruktur energi terbarukan sebagai bentuk investasi rendah karbon, dan pemberian tambahan subsidi pada masyarakat kurang mampu yang terdampak akibat dari naiknya harga pasar yang akan muncul karena adanya penambahan biaya eksternalitas pada biaya produksi perusahaan PLTU Batu Bara. Roadmap NDC Mitigasi Indonesia, KLHK (2020) mengungkapkan bahwa Biaya mitigasi akumulatif dari tahun 2020-2030 mencapai Rp3.779 triliun (Rp343,6 triliun per tahun) sedangkan diperkirakan proyeksi penerimaan murni dari pajak Karbon Rp29 – 57 triliun per tahun,
Sehingga alokasi penuh untuk Lingkungan dapat didahulukan daripada dialokasikan untuk anggaran umum dan Revenue Recycling.
Kebutuhan biaya mitigasi yang tinggi juga dapat menjadi salah satu alasan pemerintah untuk menambah basis pajak karbon selain dari batubara. Pengenaan pajak atas emisi di level Midstream seperti kilang minyak atau pabrik pengolahan gas bumi dapat menjadi solusinya.
Jumlah pabrik pengolahan gas bumi yang masih tergolong sedikit dan volume aktivitas penghasil emisi yang besar dapat meringankan biaya administrasi pajak yang harus dikeluarkan pemerintah daripada jika mengenakan skema pajak karbon pada perusahaan level Downstream seperti SPBU yang merujuk data Per tahun 2017, terdapat 5.518 SPBU yang tersebar di seluruh Indonesia.
Inisiasi yang dilakukan pemerintah dalam pemberlakuan Pajak Karbon layak diapresiasi, tetapi pemerintah juga perlu untuk membuat perencanaan kebijakan lebih lanjut terutama dalam membiayai biaya mitigasi dari perubahan iklim agar efektifitas dari pengenaan Pajak Karbon dapat sesuai dengan tujuan utama untuk menanggulangi perubahan iklim dan mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. (*)
Excellent blog you have here.. It’s difficult to find quality writing like yours these days.
I honestly appreciate people like you! Take care!!
Feel free to visit my web blog :: mp3s (Syreeta)
bookmarked!!, I love your web site!