Malangpost – Bau tak sedap merebak lagi dari Pengadilan Negeri Surabaya. Belum kering borok yang dibongkar KPK atas tangkap tangan hakim Itong dan Panitera Hamdan pekan lalu, kini hakim Johannes Hehamoni akan dilaporkan ke KPK sekaligus ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Diduga selalu menjadi hakim seseorang yang berperkara. Di manapun dia menjadi hakim.
“Indikasi itu jelas, dengan bukti-bukti kuat, ada conflict of interest, konflik kepentingan selalu menjadi hakim perkara AP,” demikian advokat MS Alhaidary kepada wartawan, sebelum berangkat ke Jakarta, senin 25/1 pagi.
Konflik kepentintan itu muasalnya dari adanya konflik keluarga. Antara AP, yaitu seseorang yang berstatus adik ipar, dengan CH, kakak iparnya. Keduanya bersengketa. Jadilah drama keluarga yang diwarnai kasus pidana dan perdata.
Sang adik ipar tergambarkan dengan fisik tegap, body builder dan pintar bergaul. Sang kakak; pengusaha, kaya, pendiam, mencintai adik kandung alias istri dari AP. “Ada adegan, ketika bertemu di Kemenpolhukam –terkait sengketa itu– adik perempuan CH datang memeluk CH dan mengelap air liur serta baju sang kakak kandung. “Mengharukan. Keduanya menitikkan air mata. Juga sebagian yang menyaksikan,” cerita Haidary.
Oleh sebab itu, Haidary berharap, hakimlah yang harus memutus adil sengketa mereka. “Semua pihak harus tunduk begitu ada putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap,” katanya.
Akan sayang sekali kalau dikotori dengan adanya interes pribadi, berakibat tidak obyektif dalam memutus perkara. “Itu sebabnya kami membuat laporan ini. Karena bahaya. Tidak saja untuk sengketa keluarga itu, tapi juga lembaga peradilan sebagai muara rakyat dalam mencari keadilan,” lanjut Haidary.
Lawyer senior itu lantas membuka berkasnya. Menyampaikan bukti-bukti;
Pertama, perkara No. 187/Pdt.G/2015/PN.Mlg. Di sini, AP menggugat CH. Hakimnya adalah Jo, panggilan akrab Johannes Hehamoni. Ketika itu Jo bertugas sebagai hakim di PN Malang. Dalam perkara ini bertindak sebagai hakim mediator. Perkaranya berlanjut. AP kalah.
Kedua, perkara praperadilan atas penghentian penyelidikan yang dilakukan Polresta Malang. Hakimnya juga Jo. Dia memenangkan sebagian atas gugatan AP yang mempraperadilankan Polisi. Polisi memang menghentikan penyelidikan perkara dugaan tindak pidana sumpah palsu yang diduga dilakukan CH, karena tidak terdapat dua alat bukti yang kuat.
Dalam hal ini, kata Haidary, sebenarnya dalam KUHAP –khususnya pasal 1 angka 10 dan pasal 77– yg boleh menjadi objek Praperadilan hanyalah, antara lain: Penghentian Penyidikan. Bukan penyelidikan. “Aneh, kok bisa dikabulkan, walaupun sebagian,” kata Haidary.
Ketiga, Perkara No. 1204/Pdt.G/2020/PN Sby, juga diajukan oleh AP, di PN Surabaya. Menggugat CH. “Ini, ketua majelis hakimnya, juga Jo lagi,” kata Haidary. Tapi gugatan itu dicabut sendiri oleh AP.
Keempat, perkara No. 1251/Pdt.G/2020/PN Sby, diajukan oleh AP. Yang digugat tetap CH. “Eh, ketua majelis hakimnya juga Jo lagi,” heran Haidary. Perkara itu kini sedang berjalan. Akan segera putusan. Harus segera diputus, kata Haidary, karena Jo harus harus pindah ke Palu menjadi Ketua Pengadilan Negeri di sana.
Tidak berhenti di situ. Dalam sengketa drama keluarga ini, terdapat nama putri dari Jo yang berprofesi sebagai lawyer. Sang putri bekerja dalam satu naungan law firm yang memperoleh kuasa dari AP. Di antara perkara-perkara itu, sang putri ikut disebut dalam surat kuasa sebagai penasihat hukum.
“Itulah inti laporan kami,” lanjut Haidary. Advokat dari KAI ini berharap, pengadilan harus terus mencerminkan obyektivitasnya dan menjauhkan dari berbagai dugaan atau langkah-langkah yang bisa berpengaruh terhadap ketidakadilan dalam memutus perkara.
Sementara itu, hakim Jo belum bisa dihubungi untuk dikonfirmasi kebenaran maupun tanggapannya terkait dugaan dan rencana pengaduan itu. (*ir)