Malang Post – Apabila seseorang memilih karir hidupnya sebagai “Pejabat Publik”, maka sebenarnya dia telah menjadi bagian dari “kekuasaan” yang tindak tanduknya berimplikasi terhadap kepentingan masyarakat luas.
Masyarakat memiliki tuntutan dan harapan yang tinggi kepada aparat pemerintah. Saking tingginya harapan masyarakat, tidak mengherankan kalau perilaku yang kurang terpuji yang dilakukan aparat pemerintah akan menjadi sorotan tajam. Menjadi bahan sindiran, bulan-bulanan, hinaan, cemoohan, bahkan cacian.
Andhyka Muttaqin seorang Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, mengutarakan bahwa. Hal demikian tidak hanya berlaku di negara-negara yang memiliki budaya ketimuran. Bahkan di negara-negara liberal yang menjunjung tinggi kebebasan individu pun, standar etika bagi orang-orang yang mengatur urusan publik, jauh lebih tinggi dibanding standar etika yang berlaku pada masyarakat umum.
Contohnya, kasus perselingkuhan, marah-marah di sebuah acara, atau kejadian sepele yang melibatkan pejabat publik. Bisa dijadikan bahan untuk melakukan pelengseran atau impeachment. Apalagi kasus yang berhubungan langsung dengan kepentingan publik, semisal korupsi proyek pengadaan, penyuapan atau penyalahgunaan jabatan.
Ekspektasi yang tinggi terhadap penyelenggara pemerintahan termasuk Pejabat Publik, jika berbanding terbalik dengan perilaku yang ditunjukkan oleh mereka, akan melahirkan sinisme dan sarkasme publik.
Lebih jauh, Andhyka menuturkan, publik akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Aparat pemerintah dianggap sebagai bagian dari “beban” kehidupan mereka. Bukan dianggap sebagai solusi atas permasalahan mereka. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, ia ingin mengingatkan kembali tentang pentingnya aparat pemerintah untuk tunduk pada etika yang melingkupi dirinya, yakni etika kekuasaan atau etika publik.
Etika lebih dipahami sebagai refleksi atas baik atau buruk, benar atau salah yang harus dilakukan atau bagaimana melakukan yang baik atau benar. Sedangkan moral mengacu pada kewajiban untuk melakukan yang baik atau apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam hal ini adalah pejabat publik.
Dalam sebuah organisasi yang begitu besar seperti negara, para pejabat dan pegawai harus memahami betapa pentingnya kesamaan semangat dan perilaku yang produktif agar tujuan pelayanan publik tercapai dengan baik.
Dalam hal ini Frederickson dan Hart (1985:551) mengatakan: “ … public servants must be both moral philosophers and moral activists, which would require: first, an understanding of, and belief in, regime values, and second, a sens of extensive benevolence for the people of the nation.”
Maka sebagai aparat pemerintah, para pejabat publik wajib menaati prosedur, tata kerja dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi pemerintah. Sebagai pelaksana kepentingan umum, para pejabat atau pegawai wajib mengutamakan aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Dan sebagai manusia yang bermoral, pejabat dan pegawai harus memperhatikan nilai-nilai etis di dalam bertindak dan berperilaku. Dengan kata lain, seorang pejabat dan pegawai pemerintah harus memiliki kewaspadaan profesional dan kewaspadaan spiritual.
Yang harus dipahami bahwa setiap jabatan dalam organisasi publik mengandung implikasi kekuasaan (power, authority). Kekuasaan itu dimiliki oleh setiap pejabat di dalam setiap jenjang organisasi.
Artinya, setiap pejabat publik dari level Presiden sebagai pimpinan eksekutif tertinggi hingga seorang pegawai sebuah kecamatan yang tugasnya melayani perpanjangan KTP memiliki kekuasaan dalam lingkupnya masing-masing.
Seorang Presiden memiliki kekuasaan yang luas untuk memimpin sebuah negara dan sepanjang masa pemerintahannya dia bisa menentukan alokasi sumberdaya negara untuk berbagai kegiatan dalam pemerintahan. Kebijakan yang diambil oleh seorang Presiden tentu akan sangat berpengaruh karena kekuasaan yang dipegangnya.
Setiap jenjang pemerintahan memiliki lingkup kekuasaan masing-masing yang dipegang oleh pejabatnya. Semakin tinggi dan luas kekuasaan seorang pejabat, semakin besar juga implikasi dari penggunaan kekuasaan bagi warga masyarakat.
Oleh sebab itu, azas etika publik mensyaratkan agar setiap bentuk kekuasaan pejabat dibatasi dengan norma etika maupun norma hukum. Etika publik juga mengharuskan agar setiap kekuasaan dipergunakan dengan tanggung jawab sesuai dengan lingkupnya masing-masing. Jadi, mulailah memilih dan memilah tindak tanduk sebagai pejabat publik. Karena setiap apa yang dilakukan oleh pejabat publik mempunyai pengaruh di masyarakat. (yan)
Penulis:
Andhyka Muttaqin, SAP, MPA
Dosen Ilmu Administrasi Negara S-1 Universitas Brawijaya Malang