
Kades Tirtoyudo, Adek Purwanto saat berada di tepi jembatan Gladak Perak, sesaat setelah putus. (istimewa)
Kondisi jembatan Gladak Perak setelah diterjang lahar dingin Semeru. (istimewa)
Malang Post —
Malang Post – Terang benderang siang itu mendadak gelap gulita seperti malam. Bukan hujan biasa, melainkan hujan bercampur abu. Sepi sontak Mencekam. Bau belerang dan suara tangis berderu.
“Siang jadi malam. Saya terjebak di piket nol. Bukan hujan air, hujan lumpur. Bau belerang. Tangisan dimana-mana, orang panik, lari. Motor ditinggal, truk isi sapi ditinggal,” cerita Kades Tirtoyudo, Adek Purwanto.
Sabtu itu, Adek pergi ke Lumajang. Ia ditemani Cak Somin, sang sopir yang asal Wagir. Naik mobil Suzuki Ertiga, ia menyempatkan makan di sekitaran Tempeh Lumajang. Masih pukul 14.00 WIB.
Dilanjutkanlah perjalanan sampai Barat Candi Senduro, ada truk mogok. Patah ass roda. Alhasil, dibelokkan jalur di jalan utama masuk kampung. Jalur alternatif yang nantinya tembus jalur utama. Baru naik 10 menit lewat Sumberpuluh, mendadak situasi berubah total.
Pukul 15.00, langit menjadi gelap. Sudah seperti malam. Tangisan anak-anak terdengar. Suara takbir menggema di sela-sela hujan abu mirip lumpur. Warga kampung berhamburan mencari tempat teduh.

Di sebuah bengkel, Adek berteduh. Hingga pukul 16.00 WIB. Ia tidak menyerah berusaha balik Malang. Namun belum menyadari penuh, betapa dahsyat yang terjadi. Ia lanjutkan berjalan menuju jembatan. Siapa tahu ada ojek.
“Sepanjang jalan berlumpur. Ramai suasana. Saya teruskan jalan ke lembah. Saya kira aman. Jalan kaki. Naik ke piket nol. Banyak pohon tumbang, batuan jatuh,” ceritanya melalui ponsel, Minggu (5/12/2021) sore.
Jaraknya 2 Kilometer dengan jembatan. Ia memaksa berjalan kaki meski banyak rintangan. Badan basah, penuh lumpur. Warga yang naik kendaraan turun. Berlari berlawanan arah dengannya. Meninggalkan kendaraan dan muatan.
“Sampai jembatan. Barulah saya terkejut. Saya tidak mengira. Saya ketemu bapak ibu lari, tinggalkan sepeda motor. Teriak Ya Allah ya Allah. Nangis sambil lari. Jembatan putus, sungainya menyala, ada lavanya, bau belerang menyengat,” cerita Adek perlahan.
Ia memutuskan kembali ke bengkel posisi mobil dan sopirnya menunggu. Panik, pasti. Terlebih kadang masih terasa getaran getaran. Ia juga mendengar dentuman-dentuman tidak terlalu keras. Ia sempat berpikir, andai tidak ada hujan.
“Lahar Mas, kalau tidak dibarengi hujan. Awan panas. Bisa banyak korban. Saya telpon keluarga, ceritakan kondisi saya. Saya buat video, untuk disampaikan, agar kepala desa lain waspada. Saya baru mengalami, betapa kejadian sehebat itu,” ungkap Adek.
Apa yang ia lihat di atas Jembatan? Adek menceritakan, banyak orang naik dari sungai. Mungkin karena dari areal penambangan pasir yang berusaha menyelamatkan diri. Ia tidak melihat apakah ada kendaraan di bawah jembatan ambruk.
Ia berharap tidak ada warga yang melintasinya waktu ambrol. Adek lalu menelepon sang sopir. Ia berusaha menembus keramaian orang di jalan. Nrombol-nrombol katanya. Wajah, badan tidak jelas lagi. Semua penuh lumpur.
Di bengkel, ia mengajak sopir balik melewatu Probolinggo. “Saya waktu di jembatan merasa seperti hidup dan mati,” tutur Adek Purwanto sembari menyebut ia bersyukur bisa selamat dari bencana.
Adek berpikiran begitu, karena jika saja ia tidak sempat makan lebih dulu. Berhenti istirahat siang itu. Juga tidak ada mobil mogok yang patah as. Sangat mungkin, ia tepat persis melewati jembatan Gladak Perak.
Ia hiraukan kaos celana basah. Ia berusaha pulang. Sekitar pukul 24.00 WIB, ia masuk Kota Malang dan tiba di Tirtoyudo sekitar pukul 02.00 WIB. Keluarganya belum tidur. Tetangganya juga menunggu kedatangan Adek. Ia segera memeluk keluarganya. (yan)