Malang Post — Edelweiss adalah simbol cinta abadi. Sebelumnya menjadi simbol keberanian. Lantaran banyaknya pemuda zaman dulu yang ingin mengambil bunga tersebut di pegunungan Alpen. Karena legenda inilah, bunga Edelweiss menjadi simbol cinta sejati dan cinta abadi. Di Indonesia, spesies edelweis yang tumbuh adalah jenis Anaphalis javanica. Sedangkan di luar negeri adalah jenis Leontopodium alpinum
Salah satu habitat bunga cinta abadi ini, adalah Gunung Bromo yang panorama alamnya memukau. Mulai dari berburu matahari terbit, upacara Kesada suku Tengger, kepulan asap kawah Bromo, pasir berbisik dan aneka spot wisata yang bertebaran. Dari sekian banyak pesona itu, ada satu destinasi wisata yang bisa jadi rujukan baru.
Namanya Desa Wisata Edelweiss yang berada di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Di desa ini, selain menyuguhkan pemandangan eksotik, Kelompok Tani (Poktan) Hulun Hyang, juga mengedukasi pengunjung tentang edelweiss.
Poktan ini, tidak hanya menjelaskan filosofi edelweiss. Namun, juga mengajarkan pengunjung cara menanam bibit di polybag. Kemudian dipindah ke media tanah, saat usia sudah beberapa bulan. Lalu merawat tanaman dalam pertumbuhan hingga akhirnya panen bunga edelweiss.
“Prosesnya seperti mendidik anak. Rawatlah edelweiss dengan penuh kasih sayang. Ajak bicara ketika menyirami atau memberi pupuk dengan lemah lembut. Supaya tumbuh dengan baik seperti yang kita inginkan,” ujar Ketua Poktan Hulun Hyang, Teguh Wibowo.
Bagi masyarakat Tengger, bunga edelweiss menjadi sajian utama saat upacara adat. Penuh kesakralan, karena tumbuhan yang hanya bisa tumbuh di gunung dengan ketinggian rerata 2.000 di atas permukaan laut ini, menjadi lambang cinta sejati. Di Bromo sendiri yang masuk Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), terdapat tiga jenis edelweiss. Yakni anaphalis javanica, anaphalis visida dan anaphalis longifolia.
Uniknya, jenis anaphalis javanica hanya ada di Bromo. Dengan jenis daun yang berbeda dibanding dua edelweiss lainnya. Masyarakat Tengger mengklaim anapahalis javanica sebagai satu-satunya di Indonesia. Dua jenis edelweiss lain, anaphalis visida dan anaphalis longivolia bertebaran di gunung lain di Pulau Jawa khususnya.
Meski bunga edelweiss hidup abadi, antara 5-10 tahun, tanpa perlu disiram air, jangan sekali-kali memetiknya dan dibawa pulang. Pemerintah mengeluarkan peraturan larangan memetik edelweiss melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 pasal 33 ayat 1 dan 2 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati Ekosistem. Bahkan, bagi yang memetik bunga edelweiss dapat dikenai hukuman penjara atau denda.
Jika terbukti memetik edelweiss dikenakan hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta. Isi pasal tersebut: “Setiap orang dilarang melakukan hal yang tak sesuai dengan fungsi pemanfaatan zona dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam“.
Teguh Wibowo menyebut ada beberapa alasan yang mendasari larangan memetik edelweiss. Salah satunya karena bunga ini ada di kawasan konservasi yang intinya segala sesuatu baik hewan maupun tumbuhan di kawasan konservasi dilindungi secara undang-undang.
Hanya saja UU tentang konservasi itu tidak berlaku di Desa Wisata Edelweiss. Karena Poktan Hulun Hyang memiliki izin budidaya edelweiss dari Kementerian Lingkungan Hidup. Dengan kata lain, masyarakat yang ingin memiliki edelweiss sebaiknya berhubungan dengan Poktan Hulung Hyang. Karena para petani asli warga Tengger ini, memiliki izin resmi dari pemerintah.
“Bagi warga Tengger, bisa mendapatkan gratis edelweiss ini. Karena untuk kepentingan upacara keagamaan. Sementara untuk pengunjung yang ingin memiliki dan dibawa pulang, Poktan Hulung Hyang mematok Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu,” terangnya.
Berada di lahan seluas 1.196 m2, Desa Wisata Edelweiss ini, memiliki spot-spot yang eksotis sebagi tempat berfoto hingga instagrameble. Hanya saja, pada bulan-bulan ini, pengunjung belum sepenuhnya bisa menikmati mekarnya edelweiss. Karena masih dalam proses pertumbuhan. Di beberapa tempat, tiga jenis tumbuhan edelweiss baru sebagian yang menunjukkan pucuk-pucuk kembangnya.
Kata Teguh, untuk tiket masuk ke kawasan ini hanya Rp 10 ribu bagi jenis welcome drink. Sedangkan bagi yang ingin mendapat pengetahuan tentang edelweiss, dikenakan biaya Rp 25 ribu.
“Kami memiliki 30 petani anggota Hulun Hyang yang bisa menjelaskan secara detil tentang edelweiss kepada pengunjung. Bahkan kami siap membantu pengunjung yang ingin menitipkan tumbuhan edelweiss dan diambil saat berkembang,” jelasnya kepada reporter City Guide 911 FM.
Sementara itu, Kepala Bank Indonesia Kantor Perwakilan Malang Azka Subhan berujar, desa wisata ini merupakan program pengembangan CSR pihaknya, yang sudah didirikan sejak tahun 2018.
“Ini memang program kami. Bertujuan untuk pengembangan edukasi dan pemahaman bunga edelweiss yang punya ciri khas dari Gunung Bromo,” ucapnya. Meski begitu, dirinya berharap pengembangan ini tidak akan berhenti dan butuh kerjasama antara berbagai pihak, sehingga Desa Wisata Edelweiss lebih terkenal serta baik.
“Masih banyak yang kurang, tapi saat ini kita kerjasama dengan Unmer dengan prodi pariwisata, guna mengembangkan lagi desa wisata ini jauh lebih baik,” pungkasnya. (yan)