Malang Post — Rencana pemberlakuan peraturan Kemendikbud nomer 6 Tahun 2021 pasal 3 ayat (2) tentang tidak adanya bantuan operasional sekolah, menuai penolakan dari kalangan guru swasta.
Manan Supriadi, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Federasi Guru Independen Indonesia (FGII ) Kabupaten Malang, salah satunya yang bersikap menolak.
Pihaknya menentang wacana Kemendikbud yang menerapkan aturan sekolah dengan jumlah siswa di bawah 60 orang, tidak menerima bos reguler.
Menurutnya, juknis ini sudah disampaikan Kemendikbud sejak 2019. Intinya menghentikan BOS bagi lembaga pendidikan yang siswanya kurang 60 anak, selama tiga tahun berturut-turut, bagi yang bukan di daerah tertinggal.
“Persoalan ini menjadi kekhawatiran yayasan mana pun yang di bawah naungan PGRI, Maarif ataupun lembaga swasta lain. Akibatnya bisa gulung tikar alias tutup. Padahal, sebelum kemerdekaan mereka peduli sekali untuk pendidikan bangsa ini. Kemendikbud terkesan duskriminatif kepada lembaga kecil,” ujarnya.
Kebijakan tersebut, terkesan ambigu. Sisi lain ada hal buruk yang terjadi. Bertujuan meningkatkan kualitas, tapi pemerinrah memberikan kemudahan pendirian sekolah baru yang secara persyaratan dan kualitas jauh dari layak.
Apabila kebijakan ini diberlakukan, pasti masyarakat akan memilih sekolah yang baru dan menjanjikan. Tetapi sekolah lama yang semestinya dibantu agar bisa meningkatkan kualitasnya, bisa tutup.
Wahisuni, Kepala SMP Muhammadiyah 7 Tajinan, juga menolak rencana tersebut. Karena menurutnya, bisa mematikan lembaga pendidikan yang sudah berjasa mencerdaskan anak bangsa. Bahkan lembaga ini berjuang di tengah keterbatasan pemerintah dalam melayani pendidikan bagi rakyatnya
“Banyak sekolah bisa gulung tikar. Padahal sekolah-sekolah kecil itu, juga besar kontribusinya untuk pendidikan. Lihat saja, anak-anak bermasalah justru banyak berubah saat di sekolah swasta. Ini karena keikhlasan para pendidiknya,” tegasnya .
Pemberlakuan aturan tersebut, terkesan menghilangkan jasa guru-guru swasta. Padahal mereka sudah berpuluh tahun mengabdikan diri. Meskipun pendapatan pas-pasan bahkan kurang.
Begitu menjelang usia tua, tempat mengabdinya harus gulung tikar. Lantaran aturan jumlah siswa minimal.
“Lha terus apa mau disuruh macul dengan tenaga yang sudah udzur. Kemanusiaannya dimana, kan begitu. Ya semoga para pengambil kebijakan masih punya nurani. Supaya bisa empati. Khususnya kepada guru di sekolah swasta,” pungkasnya. (*yan)