Ia memiliki koleksi banyak mobil kuno. Termasuk tiga mobil milik Presiden Bung Karno.
Maka satu lagi orang kaya yang baik hati meninggal dunia: Pak Budi Santoso. Tiga tahun lebih tua dari saya. Tanggal 13 Juli lalu.
Pak Budi adalah pemilik perusahaan alat-alat pertanian terbesar di Indonesia. Mulai dari pabriknya (PT Agrindo) sampai perdagangannya (PT Rutan).
Mobil-mobil kuno itu disimpan di pabriknya di Driyorejo. Termasuk mobil yang digunakan Dewi Soekarno. Indonesia-1 itu hanya sesekali dipakai. Di momen-momen tertentu. Salah satu yang beruntung adalah Indah Kurnia, kini anggota DPR tiga periode dari PDI-Perjuangan dapil Surabaya.-Sidoarjo. Waktu Indah mantu putrinya yang bintang film itu, sang pengantin naik mobil tersebut (Lihat sisi lain tulisan ini di judul yang berbeda).
Pabrik Agrindo besar sekali. Yang di Malang maupun yang di Surabaya. Berbagai penghargaan nasional dimenangkan oleh Agrindo. Termasuk penghargaan dari Presiden Soeharto.
Pak Harto sangat bangga dengan PT Agrindo yang telah mengangkat nama Indonesia di industri alat-alat pertanian.
Terutama mesin-mesin pascapanen. Sampai bisa diekspor ke berbagai negara.
Pak Budi Santoso —bersama adiknya, Budi Iskandar— bisa membuat industri dalam negeri mampu bersaing melawan pabrik serupa milik asing di Indonesia. Bahkan mampu memenangkannya.
Di masa pandemi ini pun, Pak Budi masih aktif di kegiatan sosial. Menjelang sakit pun masih sehat. Masih ikut gerakan menanam pohon di sekitar stadion sepak bola Gelora Bung Tomo.
Setelah mengetahui salah satu pembantunya positif Covid seisi rumah melakukan tes. Budi Santoso positif.
Awalnya ia memutuskan untuk isolasi di rumah. Lalu dibawa ke RS Adi Husada. Tapi ICU-nya penuh. Sehari di sana, Pak Budi Santoso dipindah ke RS Darmo. Meninggal dunia.
Malam itu, keluarga mencari lokasi pemakaman. Hanya ada di pemakaman khusus Covid di Keputih. Maka keluarga memutuskan untuk mengkremasi.
Pun semua tempat kremasi di Surabaya penuh. Dicarilah di mana yang ada. Di kota sekitar penuh. Di Malang, kota kelahiran, penuh. Akhirnya dapat di kota Kediri.
Malam itu juga jenazah dibawa ke Kediri, 120 Km dari Surabaya. Dikremasi di sana. Setelah pandemi kelak abunya akan dilarung ke laut oleh keluarga.
Pak Budi Santoso, bersama adiknya, Budi Iskandar, mampu mewarisi perusahaan permesinan dari ayah mereka. Bahkan mampu mengembangkan dan memodernisasikannya. Lihatlah pabrik penggilingan padi, hampir semua menggunakan produk Agrindo. Pun sampai traktor dan mesin panen. Diesel sampai pompa air.
Yang terbaru adalah mesin penanam padi. Yang akan kian penting sekarang ini. Itu akan bisa mengatasi kesulitan mencari buruh tanam padi belakangan ini.
Agrindo memang perusahaan legendaris. Sudah terkenal sejak zaman Belanda. Awalnya bernama Machine Fabriek &. Constructiewerkplaats-Tan Brothers. Hanya berupa bengkel las di belakang stasiun kota lama Malang.
Produk pertamanya adalah tempat tidur besi susun dua. Lalu penutup rantai sepeda. Berkembang ke landasan pandai besi. Lalu membuat alat pemroses kopi. Banyak kebun kopi di sekitar Malang zaman itu.
Pendiri bengkel itu pemuda umur 30-an tahun: Tan Tie Seng. Nama Indonesianya: Budi Waluyo. Dipanggil Om Tan.
Itulah ayah Budi Santoso dan Budi Iskandar. Budi masih punya dua adik lagi, perempuan. Dua-duanyi tinggal di Jepang dan kawin dengan orang Jepang. Itu karena keduanyi kuliah di Jepang —salah satunyi kuliah di fakultas kedokteran di sana. Jadi dokter spesialis di sana.
Tan Tie Seng masih lahir di Putian, dekat Fuzhou, provinsi Fujian. Ia ikut kakak Xia Nan Yang (下南阳) pada umur 16 tahun. Langsung ke Malang.
Mesin pertama yang dibuat adalah gergaji: gergaji mesin. Terus berkembang ke mesin-mesin lainnya. Kian maju.
Mutu mesin buatan Tan sangat terbaik terbukti perusahaan dagang Belanda, NV Ruhaak mau memasarkannya.
Belakangan ketika banyak perusahaan Belanda meninggalkan Indonesia Tan ‘meneruskan’ Ruhaak. Ia buat perusahaan trading bernama Rutan —singkatan Ruhaak dan Tan Brothers.
Ketika UU Penanaman Modal Asing (PMA) diberlakukan, 1970, Tan Tie Seng merangkul Mitsubishi. Untuk memproduksi mesin diesel.
Itulah sebabnya Tan menyekolahkan dua putrinya ke Jepang. “Zaman saya sekolah itu ke Jerman atau Eropa lainnya.
Zaman kalian harus ke Jepang,” ujar Tan seperti ditirukan Budi Iskandar.
Tan sendiri tidak sekolah. Anak pertamanya, Budi Santoso, juga hanya sampai SMA. Budi Iskandar sampai ke ITS —jurusan mesin. Baru anak ketiga dan keempat sekolah ke luar negeri.
Modal Jepang memang sangat deras masuk ke Indonesia. Maka Tan Tie Seng meminta dua putrinya harus memahami Jepang sebaik-baiknya.
Kelak ketika Tan Tie Seng sakit di saluran empedu, memilih berobat ke Jepang —dirawat oleh dua putrinya di sana. Tan Tie Seng meninggal di Jepang.
Kerja samanya dengan Jepang membuahkan hasil nyata. Teknologi diesel Mitsubishi akhirnya dikuasai Agrindo. Ketika kerja sama dengan Mitsubishi berakhir, Agrindo sudah mampu memproduksi diesel sendiri. Menggunakan merek Diamond.
Budi Santoso dan Budi Iskandar adalah tokoh di ‘perbatasan’. Ayahnya kelahiran Tiongkok. Ibunya asli wanita Madura —masih keturunan raja Sumenep. Namanyi: Sri Indrajani. Dipanggil Nyonya Betty. Atau Tante Betty.
Begitu banyak orang Madura tinggal di Malang. Pun orang tua Sri Indrajani. Di Malang lah Tan dan Sri bertemu dan berjodoh.
Saking banyaknya orang Madura di Malang sampai ada guyonan: kelak kalau Madura menjadi provinsi tersendiri ibu kotanya di Malang.
Perkawinan Tan-Sri di Malang itu membuat posisi keluarga Tan unik. “Ayah bercerita, masyarakat Tionghoa menganggap ayah bukan Tionghoa. Masyarakat pribumi menganggap ayah bukan pribumi,” ujar Arief Santoso, anak kedua Budi Santoso.
Budi Santoso punya kelebihan lain: menjadi motivator. Juga mengajar. Terutama mengajar karyawan-karyawannya. Ia juga ikut mengelola lembaga pendidikan YPPI di Surabaya.
Bakat itu menurun ke Arief Santoso. Yang setelah lulus YPPI (dari SD sampai SMA) meneruskan kuliah di Wisconsin, Amerika Serikat. Di kota Milwaukee.
Sejak lima tahun lalu Arief menjadi dekan Fakultas Ekonomi Universitas Widya Kartika Surabaya —satu yayasan dengan YPPI.
Meski terlibat di Agrindo dan Rutan Arief lebih banyak aktif di pendidikan. Ia bertekad all out memajukan Widya Kartika yang masih ketinggalan dibanding banyak universitas dengan latar belakang Tionghoa lainnya di Surabaya.
“Banyak anak orang Tionghoa miskin kuliah di sini. Saya harus memajukan universitas ini. Agar mereka tidak kalah dengan yang kaya,” kata Arief.
Waktu terjadi krismon 1998, Arief harus pulang. Membantu perusahaan yang lagi sulit. Setelah kembali normal ia balik ke Milwaukee untuk menyelesaikan kuliahnya. Lalu mendapat gelar S-2 akuntansi dari Universitas Airlangga Surabaya.
Budi Santoso, Budi Iskandar dan anak-anak mereka juga jadi contoh perusahaan keluarga yang kompak. Budi Santoso mendirikan holding sendiri. Budi Iskandar juga punya holding sendiri. Kedua holding itulah yang menjadi pemegang saham di Agrindo dan Rutan. Itulah cara keluarga ini mengamankan perusahaan keluarga itu. Kelak, misalkan ada masalah di antara keluarga itu tidak akan menyeret Agrindo dan Rutan.
Kian modern cara keluarga kaya mengamankan perusahaan. Mereka telah belajar dari banyaknya kehancuran perusahaan keluarga di masa lalu. Ternyata ada pilihan lain selain IPO di pasar modal.
Bagi keluarga kaya, itu penting. Tapi juga penting bagi perekonomian negara di masa depan. (*)