
‘’Pada abad ke-21, robot akan mengambil tempat di mana budak bekerja di peradaban kuno’’ Nicola Tesla
Peradaban itu merupakan suatu paradoksal. Setidaknya itulah yang dapat kita jadikan patokan dari zaman di mana manusia sebagai subjek bukan objek dari suatu peradaban. Kita akui, peradaban ada ketika manusia memadukan antara intelektual dengan otomatisasi pembuatan teknologi.
Manusia memproduksi barang secara berulang-ulang mengakibatkan lahirnya suatu kecerdasan buatan ( Artificial Intelligent/AI) yang pada akhirnya perkembangan itu menjadi jawaban atas setiap kebutuhan manusia. Teknologi kecerdasan buatan merubah banyak hal, seperti human skill, adanya hak kekayaan intelektual dalam dunia usaha, hingga sistem bertahan hidup untuk mencapai target yang diinginkan.
Munculnya kecerdasan buatan melahirkan kreativitas intelektual berupa karya cipta manusia. Tahun 2019, dalam dunia usaha, banyak sekali pengusaha meniru produk tanpa memperhatikan adanya kerugian dari pihak yang dirugikan. Menurut Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, terdapat 161.553 permohonan layanan kekayaan intelektual.
Permasalahan tersebut muncul karena pada abad ke-21 ini, inovasi sangat dibutuhkan untuk menarik minat beli para konsumen yang memiliki keketatan persaingan cukup sengit dalam dunia usaha. Pegusaha rela meniru hasil kreativitas intelektual milik orang lain yang kemudian dilakukan perubahan sedikit dalam model tersebut. Hal ini dikarenakan, para konsumen bisa saja memiliki alasan yang kuat untuk melakukan pursche intention (minat beli) kepada para pengusaha. Pertama karena merk barang yang diinginkan susah untuk didapat (ghaib), dan kedua karena harga mahal yang tidak sesuai dengan proses pembuatan produk tersebut.
Tuntutan pangsa pasar juga membuat pengusaha mau tidak mau memikirkan bagaimana perkembangan perfoma perusahaan atas kompetitornya. Indikator ini dapat berimbas pada pegawai perusahaan, pursche intention dan pangsa pasar dapat membuat berubahnya sistem pengoperasian mesin produksi dari tenaga manusia menjadi robot yang memiliki kecerdasan tak kalah seperti manusia.
Di tengah situasi pandemi Covid-19 ini, banyak sekali perusahaan melakukan pemangkasan pegawai. Jika kita melihat sejarah kemajuan teknologi dari era 1.0 menuju 4.0, secara tidak langsung kemajuan tersebut dapat berfungsi sebagai penolong dan dapat juga sebagai pengacau.
Penggunaan teknologi di era 4.0 dapat membantu perbaikan proses produksi yang sebelumnya menggunakan tenaga binatang menjadi kecerdasan buatan (AI). Sedangkan,pada saat ini kita akan menyaksikan perlawanan terhadap otomatiasi yang berakibat pada tenaga manusia. Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M. Fadhil Hasan mengatakan, Covid-19 diperkirakan mempercepat fenomena otomatisasi dalam proses produksi, digitalisasi dalam transaksi pembayaran, dan kegiatan perdagangan (Kompas, 17/06/2020)
Kondisi tersebut dapat dilihat dalam catatan Badan Pusat Statistik di mana jumlah pengangguran di Indonesia meningkat sebesar 2,56 juta pada tahun 2021. Munculnya pemangkasan pegawai membuat mereka memutuskan untuk beralih profesi menjadi pedagang kaki lima atau pedagang asongan yang dapat berdampak pada permasalahan sosial, seperti sulitnya tatanan kota akibat banyaknya pedangang berjualan sembarangan di trotoar.
Menilik lebih dalam lagi, seringkali kita berpikir bahwa kecerdasan buatan ini hanya berimbas pada pekerja kasar saja. Namun, para pekerja menengah, seperti guru, pengawas, pengacara, dan pegawai kantor akan mengalami hal serupa seperti mereka (para pekerja kasar).
Berikut beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi adanya dampak kecerdasan buatan bagi manusia. Pertama, untuk mengatasi adanya sengketa dalam hal kreativitas intelektual maka dibentuklah Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang diprakasai oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) sebagai bentuk antisipasi adanya pelanggaran, seperti pengambilan hak cipta milik orang lain dan mendorong para pencipta untuk terus berkarya dan berinovasi.
Kedua, memberikan pelatihan secara berkesinambungan kepada mereka yang ter-PHK dengan mengandalkan model pelatihan berbasis digitalisasi sebagai jawaban para tenaga kerja ketika menghadapi pasca pandemi Covid-19. Banyak pekerjaan pada era ini yang membutuhkan adanya ketrampilan dalam bidang teknologi, ketrampilan tersebut dapat berupa kecerdasan dalam hal IT yang mungkin jarang sekali dapat dikuasai oleh manusia.
Ketiga, memberikan kesempatan kepada pemerintah, pegawai, dan para pengusaha untuk melakukan dialog tiga arah. Dalam hal ini, peran pemerintah sangat penting sebagai penengah atas persoalan kedua pihak untuk mengatasi pemenuhan hak kerja pegawai jika pemangkasan tidak dapat diatasi. Pemerintah dapat membentuk Satuan Tugas Penanganan bagi para pegawai yang terkena pemangkasan sebagai respon terhadap permasalahan antara pegawai dengan pengusaha.
Beragam ikhtiar dapat dilakukan untuk mengatasi adanya ketimpangan antara kecerdasan buatan dengan tenaga manusia. Bahkan, terlepas dari segala permasalahan yang ada, kedua hal tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Perlu adanya kesadaran sebagai langkah nyata dalam mengatasi adanya ketimpangan antara intelektual dan peradaban.(*)

Penulis : Zahwal Wafdah ( Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang )