
Beberapa waktu lalu Bangsa Indonesia telah digetarkan oleh tragedi terorisme. Belum sempat hilang dari ingatan kita, akan peristiwa bom bunuh diri di gereja katedral Makasar, terjadi lagi peristiwa yang mengganggu kedamaian negeri ini yaitu penyerangan Kantor Mabes Polri oleh seorang wanita yang diduga seorang teroris. Belum lagi semua hilang dari ingatan kita, di Jawa Timur terjadi viral sebuah video oleh anak muda yang menyatakan bahwa Khilafah tidak bertentangan dengan Pancasila. Selanjutnya tak kalah menggetarkan, Surat kabar Gorontalo Post, Kamis, 4 April 2021 pada kolom Persepsi menayangkan sebuah artikel berjudul “Kewajiban Terlibat dalam Penegakan Khilafah”. Seolah-olah ideologi bangsa sedang diuji kesaktiannya.
Dalam kajian akademis maka semua ideologi dan faham yang ada dan telah lahir ke dunia ini, boleh kita ketahui dan pelajari. Tetapi dalam tataran pelaksanaan dan mewujudkan dalam sikap kehidupan sehari-hari apalagi pada kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ada batasan yang sangat tegas di mana ada ideologi ataupun faham yang memang tidak boleh diterapkan, bahkan dia merupakan musuh bangsa dan negara.
Apapun ideologi maupun faham yang sudah terlanjur terlahir, maka ideologi dan faham tersebut tidak akan bisa mati, dia hanya bisa sekarat. Ideologi maupun faham biasanya akan menjadi permainan yang menarik dan barang dagangan yang laris manis tatkala terjadinya kekurangan-kekurangan pada suatu sistem tatanan yang berjalan. Kekurangan ini bisa berupa kesenjangan sosial, kemiskinan, diskriminasi sosial, penindasan dan lain sebagainya pada pelaksanaan tatanan yang berjalan. Ideologi dan faham tersebut seolah mampu menyelesaikan dan menjadi solusi atas semua permasalahan yang terjadi. Ideologi-ideologi tersebut mendadak laris kembali, walaupun kenyataan sejarah telah mencatat dia sudah tidak laku jual. Seolah dia bisa menjadi sintesa bagi tatanan baru.
Sehingga yang menjadi tugas kita sebagai bangsa adalah bekerja sekuat tenaga untuk membuktikan hanya ideologi bangsa kitalah (Pancasila) yang mampu menyelesaikan semua permasalahan bangsa ini. Walaupun demikian semua tatanan tidak ada yang sempurna, artinya dalam pelaksanaannya pasti akan menimbulkan kekurangan di sana-sini. Dengan ideologi bangsalah kekurangan-kekurangan akan kita perbaiki.
Sunguh menarik jika kita memperhatikan apa yang disampaikan oleh seorang pemuda yang membandingkan antara Khilafah dengan Pancasila. Dikatakan bahwa Khilafah tidak bertentangan dengan Pancasila.
Khilafah sebagai sebuah ideologi maupun faham akan sama dengan ideologi-ideologi yang lain di dunia ini. Dan sebagai bahan analisa maka sah-sah saja kita mempelajari dan memahaminya. Kita akan menjadi generasi Pancasilais yang hebat tatkala kita juga memahami semua ideologi-ideologi di dunia, tetapi tetap yakin bahwa Pancasilalah solusi satu-satunya bagi bangsa ini. Yang menjadi pertanyaan, apakah Khilafahisme itu bertentangan dengan Pancasila? Jawabannya akan menjadi panjang dan tidak sependek pertanyaannya.
Pancasila adalah ideologi terbuka, dia sebagai meja statis sekaligus leadstar dinamis. Dalam Pelaksanaanya selalu bisa menyesuaikan kondisi jaman. Demokrasi, nasionalisme dan sosialisme jelas bukan berasal dari kultur bangsa Indonesia. Bahkan kalau kita mau jujur agama-agama yang diyakini bangsa ini bukan lahir dari bangsa Indonesia. Semua itu adalah nilai. Baik nilai yang lahir dari proses dialektika ideologi dunia maupun nilai yang tercipta dari sebuah keyakinan. Demokrasi dan Nasionalisme bangsa barat muncul karena sebuah revolusi sosial yang dimotori oleh ideologi Kapitalisme. Nilai-nilai sosialisme dilahirkan dari ideologi komunisme. Sedangkan dalam sejarah Khilafah, baik masa Khilafah Al Rasyidin atau khulafaur Rasyidin, Kekhilafahan Dinasti Umayah, Kekhalifahan bani Abbasiyah maupun Kekhalifahan Turki Ustmani, ada nilai yang dibawa dan diperjuangkan, nilai itu adalah nilai-nilai Islam. Di sini kita harus memisahkan ideologi dengan nilai yang dibawa atau dihasilkan oleh ideologi itu sendiri.
Pancasila tidak akan pernah bertentangan dengan nilai-nilai agama, tak terkecuali nilai-nilai agama Islam. Hanya mereka yang kurang memahami Pancasila lah yang selalu mempertentangkan Pancasila dengan agama, padahal Pancasila dengan agama adalah saling menegaskan dan mengikat. Sehingga nilai-nilai apapun walaupun dari luar, selama nilai-nilai tersebut sesuai dan tidak bertentangan dengan pribadi bangsa, maka nilai-nilai tersebut tidak akan pernah bertentangan dengan Pancasila.
Sebaliknya sebagai sebuah ideologi dan penerapannya, maka Khilafahisme akan selalu bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang telah disepakati sebagai Norma Dasar Bangsa yaitu Pancasila. Semua ini mengingat bahwa Indonesia bukan negara agama (teokrasi) tetapi negara hukum (Rechtsstaat). Selanjutnya dalam negara hukum ada norma yang pangkatnya lebih tinggi bahkan dibanding hukum dasar sekalipun. Norma ini kemudian diistilahkan dengan staat fundamental norm, dan ini dipegang oleh Pancasila. Sehingga kita tidak bisa dengan semena-mena mengatakan bahwa Khilafah tidak bertetangan Pancasila.
Khilafah juga tidak bisa kita bandingkan dengan organisasi-organisasi dunia yang bersifat menjalin ikatan bangsa-bangsa di dunia (Uni Eropa, PBB, FIFA dll). Selanjutnya khilafah juga tidak bisa dibandingkan dengan otoritas katolik dunia di Vatikan. Semua contoh-contoh di atas dalam pelaksanaanya sama sekali tidak mencampuri eksistensi negara-negara peserta atau anggota, baik sosial, ekonomi, politik maupun budaya.
Hal ini tentunya akan sangat berbeda dengan pelaksanaan dan penerapan sistem khilafah di Indonesia. Pelaksanaan sistem ini akan merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Dalam strategi untuk mewujudkannya saja telah membawa bencana dan tragedi kemanusiaan di sebagaian belahan dunia, khususnya timur tengah.
Dalam sejarah pelaksanaannya, sistem ini tidak mempunyai bentuk yang tetap, baku dan pasti. Kekhalifahan Al Rasyidin atau kita sebut khulafaur Rasyidin besifat sangat demokratis. Hal ini ditandai proses suksesi pada masa ini dilaksanakan dengan cara dialog atau musyawarah. Selanjutnya kekhalifahan dinasti Umayah lebih bersifat feodalistik, hal ini ditandai dengan menggunakan jalur keturunan dalam proses suksesinya. Berbeda dengan ke duanya, maka kekhalifahan yang ke tiga, kekhalifahan bani Abbasiyah lebih bersifat parlementer, hal ini ditandai dengan hadirnya Wizaraat Tafwidz atau seorang wazir. Seorang wazir berkuasa penuh dalam pemerintahan sedangkan khalifah sebagai kepala negara atau simbol negara, hal ini sangat identik dengan sistem pemerintahan parlementer pada saat ini. Terakhir masa kekhalifahan Turki Ustmaniyah yang berbentuk kesultanan. Dengan ini, membuktkan bahwa sistem dari kekhalifahan tidak memiliki bentuk yang baku. Dengan ini pula seharusnya bisa membawa alam pikir kita dan membalik pikiran kita selama ini. Kita tidak lagi membandingkan dan menghubungkan bahwa Kekhlalifaahan tidak bertentangan dengan Pancasila, tapi mari kita mengatakan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan sistem khilafah.
Hal ini tentunya akan sama dengan Pancasila tidak akan pernah bertentangan dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, HAM, Demokrasi, kemajuan teknologi dan nilai-nilai lain serta perubahan dunia selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar bangsa. Semua ini didasari bahwa sistem khilafah tidak memiliki bentuk yang baku dan demokrasi Pancasila adalah suatu bentuk sistem yang paling bermanfaat bagi bangsa Indonesia, tak ubahnya bentuk-bentuk yang lain yang akan bermanfaat bagi bangsa-bangsa lain di dunia.
Selanjutnya mari kita berusaha melindungi putra putri kita dari pengaruh ideologi, faham, aliran dan keyakinan yang bisa merusak pribadi maupun kehidupan berbangsa. Hal ini bisa kita lakukan dengan mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam setiap aspek kehidupan. Dengan penerapan ini diharapan menghasilkan tatanan yang adil dalam kesejahteraan, sehingga bisa menganulir masuknya ideologi, faham, aliran dan azas yang bertentangan dengan nilai luhur bangsa.
Penulis : Sigit Pramono ( Sekretaris DPC ISRI Kota Malang, Sekretaris Jenderal Gerakan Pendidik Pancasila dan Tim Pengajar Produktif di SMK PGRI 3 Malang )