Malang Post – Sertifikat tanah hak milik eks Gedung Graha Pena Semarang, diminta untuk diblokir terkait munculnya gugatan belum beresnya pembayaran gedung itu.
Pemblokiran sertifikat gedung lima lantai yang berdiri di atas tanah seluas 2.735 M2 itu, disampaikan ke Kepala Kantor Pertanahan Semarang, Rabu (30/6/2021).
“Sudah (pemblokiran sertifikat) kami sampaikan ke Kantor Pertanahan Semarang,” kata MS Alhaidary, S.H., M.H, advokat dari Malang kepada Malang Post.Com (grup ameg), Rabu (30/6/2021) siang.
Pemblokiran sertifikat tanah eks gedung Graha Pena itu terkait sengketa yang dilakukan Mudji, mantan dosen teknik universitas terkemuka Semarang dengan pemilik tanah dangedung.
Mudji diduga sengaja menghilang padahal punya kuwajiban mempertanggungjawabkan kuasa menjualkan office building di Jalan Perintis Kemerdekaan Semarang itu.
Dikatakan Alhaidary, Mudji tiga tahun tidak ada kabar lanjutan. Padahal gedung sudah dikuasai.
“Ada uang muka, tapi masih kurang Rp. 8,5 miliar, terus tidak bisa dihubungi,” ungkap advokat yang biasa dipanggil Haidary.
Pembayaran belum beres dan berujung gugatan telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Semarang No. 301/Pdt.G/2021/PN.Smg tanggal 28 Juni 2021.
Ihwal dari perkara ini pada tiga tahun lalu, Mudji mendapat kuasa menjual gedung dan tanah tersebut.
Transaksi penjualan terjadi namun ada kejanggalan. “Kalau itu dijual, kok tidak ada transaksi di notaris atau PPAT,” kata Haidary.
Menurutnya, transaksi alih kepemilikan harus ditandatangani oleh pemilik selaku penjual dan pembeli dihadapan PPAT. “Ini tidak pernah ada,” tambahnya.
Kalau berdasar kuasa, itu tidak boleh dan dilarang oleh undang-undang. Karena kuasa mutlak selain tidak dapat dicabutjuga mengandung peralihan hak atas tanah secara terselubung.
Haidary melihat ada bukti kuasa mutlak yang dibuat oleh notaris atas permintaan Mudji.
“Kita lihat, apakah kuasa mutlak itu dipakai sehingga pemilik sah diabaikan. Kalau itu benar, maka notaris pembuat kuasa mutlak harus ikut bertanggungjawab,” kata Haidary.
Oleh karena itu, dikatakan Haidary bahwa Edhi Susanto, S.H, Notaris/PPAT di Surabaya yang membuat akta kuasa mutlak juga ditarik sebagai tergugat dan Kantor Pertanahan Kota Semarang sebagai turut tergugat.
Bagaimana pun, menurutnya, Mudji punya kewajiban atas kuasa yang diberikan.
Harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
Kalau dijual, kekurangan bayar Rp. 8,5 miliar harus dibayarkan kepada pemilik sebagai penjual. Baru kemudian pemilik tanda tangan pengalihan.
Ditegaskan Haedary, tidak boleh pemegang kuasa tanda tangan pengalihan hak.
Notaris juga tidak boleh ceroboh. Baik notaris pembuat kuasa maupun notaris lain yang menetapkan transaksi jual beli atas dasar kuasa. “Itu melanggar hukum,” katanya. (ir)