Kita semua telah terpengaruh oleh pandemi COVID-19 saat ini. Namun, dampak pandemi dan konsekuensinya dirasakan berbeda tergantung pada status kita sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Sementara beberapa mencoba beradaptasi dengan bekerja online, homeschooling anak-anak mereka dan memesan makanan melalui online, yang lain tidak punya pilihan selain terpapar virus sambil menjaga fungsi masyarakat. Identitas sosial kita yang berbeda dan kelompok sosial tempat kita berada untuk menentukan inklusi kita dalam masyarakat dan, dengan perluasan, kerentanan kita terhadap pandemi covid-19 ini.
COVID-19 membunuh orang dalam skala yang sangat besar. Pada tahun 2020, contohnya adalah lebih dari 7,7 juta orang di setiap negara bagian di Afrika dinyatakan positif COVID-19. Menurut data yang ada,setidaknya 213.876 orang dengan virus telah meninggal di Afrika. Namun angka-angka yang mengkhawatirkan ini memberi kita hanya setengah dari gambaran pengamatan lebih dekat pada data dengan identitas sosial yang berbeda (seperti kelas, jenis kelamin, usia, ras, dan riwayat kesehatan) menunjukkan bahwa minoritas telah terpengaruh oleh pandemi secara tidak proporsional.
Minoritas di Afrika ini tidak memiliki hak atas kesehatan yang terpenuhi. Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia atau yang biasa di sebut WHO(World Health Organization) menutup celah dalam generasi: Kesetaraan Kesehatan melalui tindakan terhadap penentu sosial kesehatan, kondisi hidup yang buruk dan tidak setara adalah konsekuensi dari kondisi struktural yang lebih dalam yang bersama-sama membentuk cara masyarakat terorganisir kebijakan sosial yang buruk, program pengaturan ekonomi yang tidak adil, dan politik yang buruk.
Kombinasi faktor-faktor ini yang terjadi selama masa krisis ini, dan seperti yang ditunjukkan oleh berita tentang efek pandemi COVID-19, secara tidak langsung memengaruhi Korea Utara Komunitas Afrika di Afrika. Saya menyadari bahwa pandemi telah berlangsung cukup lama dan sangat berdampak buruk pada minoritas lain juga, tetapi ruang publik sangat tidak mengizinkan mengeksplorasi dampaknya pada kelompok minoritas lainnya. Menggunakan kacamata dari hak asasi manusia dalam analisis ini membantu kita semua supaya tau kebutuhan dan masalah sosial menjadi hak, memusatkan perhatian kita semuanya pada konteks struktural sosial politik yang lebih luas sebagai penyebab masalah sosial.
Hak asasi manusia menyoroti martabat dan nilai yang melekat pada semua orang, yang merupakan pemegang hak utama. Pemerintah dan aktor sosial lainnya, seperti korporasi adalah mengemban tugas, dan dengan demikian memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi semua umat manusia yang ada.
Hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan dari konteks kemasyarakatan di mana mereka diakui, diklaim, ditegakkan, dan dipenuhi. Secara khusus, hak sosial, termasuk hak atas kesehatan, dapat menjadi yang sangat penting sekali di gunakan untuk memajukan kewarganegaraan masyarakat atau istilahnya itu seperti pengetahuannya dan meningkatkan kemampuan mereka untuk berpartisipasi sebagai anggota aktif di masyarakat.
Pemahaman tentang hak-hak sosial seperti hal tersebut menuntut perhatian kita pada konsep kesetaraan atau istilahnya keadilan, yang mengharuskan kita lebih menekankan pada solidaritas satu sama lain dan bersikap kolektif. Selanjutnya adalah untuk menghasilkan kesetaraan, solidaritas, dan sikap kolektif, pemenuhan atas hak-hak sosial bukanlah pilihan.
Untuk memenuhi integrasi sosial, kebijakan sosial perlu mencerminkan komitmen untuk menghormati dan melindungi individu yang paling rentan dan menciptakan kondisi pemenuhan hak ekonomi dan sosial bagi semua. Maka dari itulah kita semua harus saling membantu satu sama lain, kita pun juga tidak usah menganggap dan tidak boleh punya alasan untuk tidak membantu, terkadang banyak alasan seperti contohnya kita berbeda negara, lalu menyumbang dan membantu melaui apa. Hal itu semua bukan alasan atau halangan untuk membantu saudara kita yang kesusahan akibat terjadinya pandemi covid-19 ini yang mengakibatkan sebagian mayoritas merasa pandemi covid-19 ini penanganan yang di lakukan sangat menganggu, paling mengganggu yaitu masalah ekonomi beberapa orang tidak hanya di indonesia di seluruh dunia pun juga merasakan hal yang sama. Apalagi di beberapa negara masyarakat atau sebagian warganya menyerukan pendapat yaitu dengan menyarankan pihak pemerintahan untuk melakukan dan melaksanakan yang namanya lockdown atau bila di artikan adalah penguncian wilayah, mereka menyarankan hal tersebut kepada pemerintah di negara mereka agar penyebaran pandemi covid-19 yang terjadi ini tidak semakin melebar luas dan agar juga dampaknya tidak terlalu menyulitkan negara.
Lockdown ini bukan sembarang lockdown dan bila akan melaksanakan hal ini harus di pikirkan dengan baik baik makna lockdown yang sebenarnya adalah penutupan akses baik dari luar maupun dalam, lockdown merupakan protokol atau peraturan yang hanya bisa di terapkan oleh pihak pemerintahan, lockdown itu semua kegiatan di batasi dengan ketat mulai dari berlangsungnya belajar mengajar yang semula semula di laksanakan sesuai jumlah murid yang ada tetapi sekarang hanya boleh sebagian murid saja yang hadir saat proses belajar mengajar tersebut sedang berlangsung. Kemudian selanjutnya adalah pada saat belanja di mall atau belanja kebutuhan pokok sehari-hari yang biasanya di mall tersebut buka sampai jam malam tetapi saat ini di batasi jamnya, di beberapa mall yang ada peraturan semenjak ada covid pun di berlakukan contohnya adalah masuk mall pengunjung hanya boleh di batasi beberapa orang saja, kemudian saat membeli baju dan pergi ke kamar pass tidak boleh terjadi ada kerumunan dan harus bergantian antri.
Hal lain adalah pada saat naik transportasi online maupun umum contohnya seperti naik pesawat, kereta api, ojek online, bis dan angkutan umum antar kota, transportasi ini yang bisanya berisikan sesuai tempat duduk atau jumlah yang ada tetapi saat ini hanya boleh di isi sebagian saja dari jumlah yang ada. Dan juga untuk membeli tiket apapun itu saat ini bisa melaui online agar tidak mengundang kerumunan. (*)
Penulis : Monik Risma Azzahra Syam (Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang)