INI bukan Garuda Indonesia tapi ya sama saja: megap-megap. Itulah Thai Airways. TG. Milik Thailand.
Bedanya: Thai Airways sudah membuat keputusan: membawa masalahnya ke PKPU-nya Thailand. Sidang-sidangnya sudah berlangsung. Sudah pula siap diputuskan. Tapi para kreditor masih menyusulkan pendapat. Pengadilan menyetujui untuk mendengarkan pendapat susulan itu. Putusan PKPU-nya dimundurkan sedikit. Menjadi tanggal 15 Juni depan.
Garuda masih melayang-layang dengan benang putusnya. Thai Airways tinggal tunggu 10 hari lagi.
Pemerintah Thailand sudah pada keputusan final: tidak mau lagi menginjeksi TG. Bahkan tiga tahun lalu pemerintah sudah memutuskan tidak mau lagi menjadi pemegang saham mayoritas. Dilakukanlah divestasi. Dari 51 persen ke 47,8 persen.
Dengan divestasi itu pemerintah mengeluarkan Thai Airways dari daftar BUMN-nya. Divestasi itu dilakukan dengan cepat. Saat itu status TG sudah seperti GA: sudah melantai di pasar modal. Tidak rumit mendivestasi saham di pasar modal.
Utang TG memang sangat besar. Juga sebesar gajah bengkak. Bengkaknya lebih besar: sekitar Rp 100 triliun. Lebih besar dari GA yang Rp 70 triliun.
Berbagai upaya menyelamatkan TG sudah dilakukan. Jalur-jalur yang rugi sudah dihapus. Gaji sudah dipotong. Jumlah karyawan sudah dikurangi 6.000 orang.
TG sudah tidak punya lagi rute penerbangan ke Amerika. Padahal, dulu, TG itu gagah sekali. Jauh lebih gagah dari GA.
Sang TG pernah punya penerbangan nonstop jarak jauh: dari Bangkok ke New York. Juga dari Bangkok ke Los Angeles.
Saya pernah naik TG dengan rute yang amat jauh: dari Madrid ke Bangkok, nonstop. Kecewa. Salah saya sendiri. Saya kurang cerewet bertanya. Waktu itu saya membeli tiket first class. Agar bisa tidur enak. Ternyata first class di jurusan itu sama dengan business class: kursinya hanya bisa disandarkan sedikit –tidak bisa dibuat hamparan datar.
Itu memang sudah lama sekali. Belakangan, di beberapa penerbangan, tempat duduk business class pun sudah bisa dibuat rata seperti tempat tidur.
Padahal penerbangan Madrid-Bangkok waktu itu penuh sekali. Begitu panjang rute ini. Begitu penat. Saya menyesali diri sepanjang perjalanan. Sejak itu, setiap membeli tiket kelas bisnis selalu saya tanyakan posisi kursinya seperti apa.
Saya termasuk sering naik TG. Terutama kalau lagi sulit mendapat tiket jurusan Hong Kong-Jakarta. Jadilah Hong Kong-Bangkok-Jakarta.
Tak terbayangkan bahwa TG akhirnya mengalami kesulitan besar seperti sekarang ini. Lebih sulit dari GA.
Kesulitan yang sudah biasa kita dengar adalah dari Malaysian Airlines System (MAS). Pemerintah Malaysia tidak henti-hentinya menyuntikkan dana. Pun tidak membuat MAS kunjung sehat. Pernah dikeluarkan dari BUMN. Malah mau mati. Dimasukkan lagi. Sama saja.
TG sendiri sebenarnya sudah berupaya menyelesaikan utangnya di luar pengadilan. Kreditor juga setuju bahwa utang harus direstrukturisasi. Bunga harus dipangkas. Jangka pengembalian harus diperpanjang. Beberapa aset harus dijual.
Untuk merestrukturisasi utang itu para kreditor sudah menunjuk wakil yang bisa diterima semua pihak. Yakni seorang mantan menteri. Ditambah seorang mantan Dirut yang pernah membawa TG memperoleh laba. Sedang Bangkok Bank telah pula mengirim wakil ke tim negosiasi itu.
Tapi persoalan TG sudah terlalu berat. Maka direksi TG membawanya ke PKPU-nya Thailand. Momentum Covid ini dimanfaatkan untuk melakukan penyelesaian tuntas.
Padahal sebelum Covid pun TG sudah sempoyongan.
Pernahkah TG berlaba?
Pernah.
Kapan?
Dulu sekali. Tahun 2012.
Sejak itu TG terus merugi. Rupanya mereka kurang pandai membuat buku keuangan agar bisa seolah-olah masih berlaba.
Kian tahun kerugian itu kian besar. Yang terbesar tahun lalu. Jangan kaget: TG rugi sekitar Rp 7 triliun. Tepatnya: USD 4,6 miliar.
Langkah penghematan pun dilakukan lagi tahun lalu. Sebanyak 200 jabatan eksekutif dihapus. Fasilitas pusat latihannya dijual. Jumlah pesawat sewa dikurangi: dari 104 menjadi 80. Jumlah karyawannya –masih 28.000– akan dibuat tinggal 15.000.
Ambisi Thai adalah ambisi turisme di Thailand. Semua jurusan diterbangi untuk mendatangkan turis itu. Sampai-sampai TG punya dua home base: di Bangkok dan di Phuket –pantai yang tidak seindah Bali tapi dijual habis-habisan sebagai pusat turisme Thailand.
Bandara Bangkok sendiri dipindah. Dari Don Muang di dekat kota ke Suvarnabhumi jauh di timur Bangkok. Tujuannya satu: agar lebih dekat ke pantai Pattaya –pusat turis lamanya.
Dari Suvarnabhumi orang bisa ke Bangkok atau ke Pattaya dengan jarak yang sama.
Pemerintah Thailand tidak terpancing oleh besarnya misi TG untuk mendorong turisme. Tetap saja pemerintah tidak mau menyelamatkan TG lewat suntikan dana.
Direksi GA sebaiknya juga jangan memimpikan keindahan uang pemerintah. Biar pun masih mayoritas, tetap saja pemerintah hanya mayoritas tipis di Garuda.
Jadi, kapan soal GA diputuskan: harus lewat jalan yang mana? (*)