Alam sering mengganggu manusia dalam bentuk bencana alam (seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dll), begitu juga binatang buas terkadang mengganggu manusia dengan cara masuk kepermukiman. Selain itu, ancaman bahaya terhadap manusia terkadang datang dari sesama manusianya.Ungkapan ini selaras dengan adagium “homo monini lupus” bahwa manusia adalah serigala bagi manusia yang lain (Sudikto Martokusumo, 2019:17).
Pada persoalan ancaman kejahatan atau Misdrijf yang datang dari sesama manusia sering terjadi peningkatan dan bahkan dinamika kejahatan akan terus menjadi pusat perhatian dan kajian, sebab persoalan ini menyangkut ketertiban dan kedamaian bagi khalayak umum atau kehidupan masyarakat.
Dapat dilihat pada persentase angka kejahatan yang dilansir dari Youtube/Tribunnews.com, 02/02/2020 disebutkan oleh Karopenmas Rusdi Hartono pada konfrensi pers terkait situasi kamtibmas pada bulan Januari di minggu ke-3 dan minggu ke-4 tahun 2021, bahwa angka kejahatan pada bulan tersebut mengalami kenaikan mencapai 7,56%, dengan kenaikan sebanyak 369 kejadian dari minggu ke 3 yang hanya 4.878 kasus menjadi 5.247 kasus kejahatan pada minggu ke-4.
Kenaikan tersebut didominasi oleh kasus tindak pidana narkotika, kemudian disusul kasus pencurian yaitu pencurian dengan pemberatan, pencurian kendaraan bermotor dan pencurian dengan kekerasan.Bahkan baru-baru ini pada bulan maret 2021 terjadi ancaman dalam bentuk terorisme, yaitu terjadi ledakan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar pada tanggal 28 Maret 2021 pukul 10.28 WITA.
Pandangan mengenai kejahatan secara hukum tidak lepas dari ilmu hukum pidana, baik yang diatur dalam KUHP ataupun undang-undang lainnya. Menurut Wirjono Prodjodikoro (2003:33) menulis bahwa Misdrijf atau disebut dengan kejahatan berarti suatu perbuatan tercela yang berhubungan dengan hukum, artinya tidak lain dari pada perbuatan melanggar hukum(dalam Fauziah Kahar, 2016:13). Disamping itu Sudikno Martokusumo berpendapat bahwa ratio keberadaan hokum yaitu dikarenakan oleh conflict of human interest (pertentangan antar kepentiangan manusia).Sehingga persoalan ini adalah persoalan ketidakpatuhan terhadap hukum.
Persoalan Hukum dan Perdamaian
Secara bahasa damai merupakan antonim dari perselisihan, artinya sebuah harmoni dalam kehidupan tanpa adanya konflik atau perselisihan. Persoalan perdamaian telah diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada alenia ke-4, bahwa dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.Untuk mewujudkan perdamaian dunia tersebut, tentu terlebih dahulu harus dimulai dari damai secara nasional.
Berbicara perdamaian, tampak lebih luwes setelah menengok komentar menarik dari sahabat penulis dalam tulisannya tentang hukum dan mayarakat, bahwa ungkapan tersebut yaitu“ negeri akan damai jika penjara tutup gara-gara tidak ada lagi yang melanggar hukum”.
Secara singkat, ungkapan tersebut memang nyeleneh, tetapi manakala dikaji lebih dalam secara batiniah tentunya yang di harapkan manusia adalah perdamaian.Sesuai dengan ungkapan Aung San SuuKyi (1945), yaitu pejuang demokrasi dan politisi dari Myanmar, bahwa “perdamaian adalah tujuan ideal yang tak bisa diganggugugat oleh pemerintahan atau bangsa manapun, termasuk mereka yang suka berperang atau berselisih sekalipun.”
“Hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum”, begitulah adagium yang sering disampaikan oleh seorang guru besar dalam bidang hukum, yaitu Satjipto Rahardjo. Adagium tersebut tidak jauh kaitannya dengan persoalan tujuan hukum, menurut Gustav Radbruch (1878-1949) seorang filsuf Jerman bahwa ada keadilan, kepastian dan kemanfaatan sebagai tujuan hukum.
Terlebih Jeremi Bantham (1748-1831) dalam aliran utilitis, tujuan hukum dan wujud keadilan guna menjamin kebahagiaan yang besar bagi banyak manusia. Persoalan kebahagiaan ini adalah hasil dari terwujudnya perdamaian, sehingga terlihat jelas setelah menegok pendapat L.J.van Apeldoorn dalam bukunya tentang Pengantar Ilmu Hukum, bahwa persoalan tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai. Artinya hukum menghendaki perdamaian, karena apa yang disebut tertib hukum mereka sebut damai (vrede) dan kejahatan berarti pelanggaran perdamaian (vredebreuk).
Pada tataran membumikan perdamaian ini membutuhkan kesadaran hukum dan menjungjung tinggi hukum (penulis menyebutnya memuliakan hukum), sebab Indonesia merupakan Negara yang berdasar pada hukum (rechtsstaat) untuk menjaga ketertiban hukum dan semuanya berjalan berdasarkan hukum.
Dalam hal ini perdamaian adalah persoalan damai terhadap sesame manusia dan bertingkah sesuai dengan aturan hukum yang ada. Manakala segala sesuatu berlangsung tertib, maka masyarakat tidak akan lagi mempersoalkan hukum, sebab hokum dibuat untuk menciptakan ketertiban ataupun perdamaian.
Pemulihan pandangan
Berawal dari kebiasaan melanggar hukum hingga muncul stigma “bahwa aturan dibuat untuk dilanggar,” pandangan negatif tersebut sering dilontarkan dan menjadi ungkapan yang kerap terdengar dalam masyarakat. Sepertihalnya perbuatan melanggar larangan lalu lintas, parkir liar, dan tindakan suap terhadap aparat hukum,kerap terjadi dan dilakukan oleh masyarakat padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Begitu juga persoalan mengenai kejahatan yang kerap terjadi karena pertentangan antar kepentiangan.Kejahatan dipandang sebagai suatu perbuatan yang merugikan penderita, juga merugikan masyarakat berupa hilangnya ketentraman dan ketertiban. Untuk itu, guna menjaga ketertiban dan kedamaian dibutuhkan kesadaran hokum dari masyarakat, serta pemulihan pandangan dari stigma negatif menuju positif bahwa “aturan ada untuk ditaati” sehingga manusia dapat hidup damai tanpa adanya konflik.
Kesadaran hokum diartikan sebagai kesadaran tentang apa yang seharusnya dilakukan dan tunduk pada hukum yang berlaku. Guna mewujudkan kesadaran hukum, Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa ada 4 indikator secara berurutan, yaitu: (1) pengetahuan hukum; (2) pemahaman hukum; (3) sikap hukum (legal attitude); dan (4) pola prilaku hukum (Ellya Rosana, 2014, dikutip dari Sabian Utsman, 2009: 230). Selain itu, untuk menjaga efektifitas hukum yang adil ditentukan beberapa aspek, yaitu aspek penegakan hukum, aspek kesadaran hokum dan aspek budaya hukum.(*)
Penulis : Kholilur Rahman, S.H, Pegiat Hukum dan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga