AMEG – SAYA sampai malu: menulis VakNus sampai lima seri. Sampai-sampai beredarnya video Presiden Joe Biden jatuh lagi di tangga pesawat terlewatkan –untung ternyata itu meme. Makanya kok terlihat dramatis sekali jatuhnya.
Pun penahanan kapal Ever Given. Juga terlewatkan. Kapal itu kini ditahan Mesir sampai pemiliknya membayar Rp 14 triliun. Yang sekitar Rp 4 triliunnya berupa ganti rugi rusaknya nama baik Mesir. Kapal yang pernah kandas seminggu di terusan Suez itu kini tetap ditahan di Danau Pahit –di pertengahan terusan itu.
Soal Waskita Karya, Bank Mandiri dan isu reshuffle kabinet juga terlewat. Padahal tidak ada rencana sama sekali untuk menulis serial VakNus itu. Semula, saya pikir, begitu uji coba fase II itu tidak diizinkan, selesailah cerita VakNus. The End. Ups… ternyata masih to be continued.
Awalnya saya tergelitik oleh foto yang beredar di medsos: Letjen Purn Sudi Silalahi ke RSPAD –diambil darahnya di situ. Mantan sekretaris kabinet itu menjadi relawan uji coba VakNus –di luar birokrasi BPOM.
Kebetulan saya kenal ”Jenderal Batak dari Tanah Jawa” –begitu judul buku biografinya– yang taat beribadah itu. Maka saya wawancarai beliau. Saya tanya: apakah selama ini belum pernah vaksinasi –kan usianya sudah di atas 60 tahun.
“Belum,” jawabnya. “Waktu itu saya lagi menjalani penyembuhan setelah operasi prostat,” tambahnya.
“Operasi prostatnya berhasil?” tanya saya.
“Berhasil sangat baik,” jawab Sudi.
Saya sengaja bertanya dulu soal berhasil atau tidaknya operasi prostat itu. Banyak laki-laki senior ingin berita seperti itu –siapa tahu kelak juga perlu operasi prostat.
Selebihnya saya wawancara seperti wartawan lainnya. Soal pengambilan darahnya yang beredar di medsos. Disway pun menuliskannya. Tanpa punya niat akan menulis soal VakNus lagi keesokan harinya.
Saya pikir Pak Sudi relawan pertama uji coba fase II. Ternyata bukan. Saya merasa bersalah. Maka saya wajib menulis siapa sang pioneer: ternyata Aburizal Bakrie. Kebetulan, ketika wawancara, berhasil mendapat keterangan yang nilai human interest-nya sangat tinggi. Saya tidak menyangka mendapatkan sisi menarik yang selama itu dirahasiakan. Maka jadilah tulisan seri ke-2 itu.
Selesai. Tidak perlu lagi menulis soal VakNus. Isu reshuffle kabinet mulai ramai. Tapi hari itu saya merasa bersalah –secara jurnalisme. Saya baru tahu hari itu bahwa yang membeli peralatan DSA di RSPAD itu ternyata kementerian kesehatan di zaman menteri kesehatannya Siti Fadilah Supari.
Saya pun mewawancarai dia. Yang ternyata menarik: dia hanya mau vaksinasi lewat VakNus.
Saya langsung mencatat: kok ada ilmuwan kedokteran, peneliti, doktor, yang hanya mau vaksinasi VakNus. Pastilah menarik, secara jurnalisme. Jurnalis mana yang menganggap itu tidak menarik?
Itu, setidaknya, bisa sedikit menetralkan kesan ilmuwan vs politisi di kasus VakNus ini. Atau orang awam vs ilmuwan. Bu Siti Fadilah bukan orang yang tidak mengerti disiplin penelitian. Beliau sendiri peneliti –sampai membawa 60 simpanse ke Amerika.
Dan beliau hanya mau VakNus –karena pertimbangan kondisi badan yang punya problem autoimmune.
Prof Dr Nidom sebenarnya juga bisa jadi faktor penetralisir kesan itu. Prof Nidom bukan orang awam. Ia mengerti disiplin penelitian. Beliau peneliti. Bahkan penelitiannya sampai menemukan virus –flu burung saat itu.
Beliau membela VakNus bukan karena tidak mengerti –seperti saya. Bisa jadi beliau lebih banyak berbuat dari pada banyak ahli yang banyak berkomentar.
Maka jadilah tulisan seri 3 VakNus di Disway. Yang terbit Kamis lalu.
Dengan tiga tulisan tentang VakNus itu sebenarnya saya sudah merasa berlebihan. Juga sudah tidak punya bahan lagi yang baru.
Bahwa banyak anggota DPR yang juga jadi relawan VakNus tidak saya tulis. Secara jurnalisme, ”unsur baru” dari peristiwa itu sudah tidak tinggi –meski tetap menarik.
Kalau saya menuliskannya, kesannya saya sangat membela VakNus. Tanpa itu pun kesannya sudah begitu. Dan lagi saya memang membelanya –bukan dari segi ilmiah. Saya bukan ahlinya. Saya bukan siapa-siapa di bidang itu.
Maka tulisan saya pun jangan dianggap tulisan ilmiah. Jangan juga mudah terpengaruh tulisan saya. Saya bukan dokter. Saya bukan peneliti. Saya hanya wartawan!
Maka tiga karya jurnalisme itu saya rasa cukup. Benar-benar tidak ada lagi bahan baru untuk ditulis.
Ups… Ada lagi!
Tiba-tiba terbaca di medsos: penjelasan resmi pimpinan RSPAD. Saya ikuti sampai sore: apakah ada klarifikasi bahwa itu hoax. Tidak ada. Berarti bisa dipercaya.
Surat pimpinan RSPAD itu menarik bagi saya. Terutama ketika banyak yang mengira surat itu sebagai larangan bagi dokter Terawan untuk menjalankan uji coba fase II di RSPAD.
Saya membacanya tidak seperti itu. Surat tersebut justru menjelaskan –secara tersamar– uji coba fase II VakNus di RS itu legal. Hanya saja harus hati-hati. ”Legal” di situ bukan dalam term legal-nya BPOM, tapi legal secara internal RSPAD. Berarti legal juga di tingkat TNI-AD.
Kalau tidak legal pasti TNI-AD sudah melarangnya sejak sebelum dilakukan. Terawan adalah Letnan Jenderal Angkatan Darat aktif. Logikanya: tidak mungkin ia melakukan kegiatan begitu berisiko tanpa minta izin atasan.
TNI-AD tentu juga tahu bahwa di negara-negara lain militer punya kegiatan penelitian sendiri. Penelitian strategis. Yang tidak harus terbuka. Seperti penemuan vaksin Sinovac dan CanSino di Tiongkok.
Surat pimpinan RSPAD tadi ”hanya” menekankan agar tim peneliti berhati-hati. Bedakan mana relawan yang inklusi dan eksklusi.
Artinya: relawan boleh datang ke RSPAD untuk diambil darahnya. Tapi tidak semua darah yang diambil akan dimasukkan ke penelitian fase II. Misalnya darah yang ternyata sudah mengandung imunitas. Baik karena konvalesen maupun karena imunisasi.
Jadi, kalau ada yang emosi lalu mengkritik kok sudah imunisasi dijadikan sampel, harus tahu duduk persoalan. Mereka tetap diambil darah. Tetap diproses. Tapi mereka dikeluarkan dari daftar peserta penelitian fase II. Mereka akan dimasukkan daftar khusus untuk penelitian yang lain lagi.
Itulah inti surat pimpinan RSPAD yang tindasannya juga untuk pimpinan tertinggi TNI-AD itu. Itulah pemahaman saya, sehingga muncul tulisan Disway kemarin. Yang saya kira juga tulisan terakhir soal VakNus.
Tapi mengapa masih pula muncul tulisan hari ini? Yang masih tentang VakNus?
Oh… Kalau yang ini hanya karena emosi…hahaha. Anggap saja seperti pendukung Persebaya yang ternyata kalah. Atau, sssstttt…, Liverpool.
Saya janji besok pagi tidak menulis VakNus lagi… kalau tidak terpaksa. (*)