AMEG – Bulan Ramadhan, adalah pembuka peradaban membaca yang sesungguhnya. Pada bulan ini, ayat membaca diturunkan. Iqra’. Nama kitabnya pun disebut Qur’an sebuah Bacaan.
Adakah sebuah buku dan kitab yang menyamainya? Dibaca, dihafalkan, ditafsiri tanpa henti. Sepanjang hari sepanjang tahun. Mengawali ulasan Dr Halimi Zuhdy MPd MA.
Betapa bulan ini menjadi bulan pembuka alam berfikir. Bertafakkur dan awal dari hebatnya sebuah umat. Karena tanpa membaca, suatu bangsa atau kaum tidak akan pernah maju dan beradab.
Masyarakat Arab pada masa itu, adalah masyarakat ummiyyun (seperti bayi ketika lahir). Tidak dapat membaca dan menulis. Hanya beberapa orang saja yang mampu menulis dan membaca.
Sehingga mereka mengandalkan hafalan saja. Mereka yang kuat hafalannya, dianggap orang yang cerdas. Menghafal menjadi tolak ukur kehebatan seseorang. Sedangkan yang bisa menulis dianggap aib.
“Innahu indana aibun. Sesungguhnya menulis di kalangan kami aib,” demikian kata Zurrahmah.
Masyarakat Arab pada masa itu, masih awam dalam banyak disiplin ilmu. Bahkan Makkah terisolasi dari kemajuan daerah sekitarnya yang sudah memiliki kemajuan sain, teknologi dan lainnya.
Seperti Mesir, Persia, Irak dan Cina. Kecuali dalam bidang sastra dan bahasa. Bangsa Arab memiliki keistimewaan sendiri. Itupun terbatas beberapa orang saja. Sehingga yang mampu bersastra, adalah mereka yang berhak memiliki segalanya, bahkan melebihi raja.
Iqra’ benar-benar merubah segalanya. Orang Arab kemudian memiliki pengetahuan yang luar biasa. Dunia literasi tumbuh membunga dan berkecambah. Puncaknya, pengetahuan dunia berada di tangan umat Islam.
Peradaban emas ditoreh oleh Muawwiyah, Abbasiyah dan seterusnya. Sedangkan bangsa Barat masih benar-benar gulita.
Membaca di kalangan ulama salaf sangat luar biasa. Hal tersebut benih dari kata ‘Iqra’. Benih dari Al-Quran yang diturunkan di bulan Ramadan.
Al-Jahizh berkata, “Barang siapa yang ketika membeli buku dan membacanya tidak merasa lebih nikmat daripada saat membelanjakan hartanya untuk membeli hal-hal yang diinginkan, atau tidak melebihi ambisi para hartawan untuk membangun bangunan, sesungguhnya ia belum mencintai ilmu”.
Seperti As-Saghani, lebih 50 tahun tidak henti membaca buku. Ali Asyafi’i bergadang semalam suntuk bersama buku. Fairuz Abadi kemana-mana hanya ada buku dan pena. Ibnu Taimiyah, walau di kamar mandi tak lepas dari membaca.
Abu Khair As Sa’di sampai di penghujung usianya, buku teman abadinya. Adz-Zahabi yang sampai mengeluarkan kencing darah dua kali, kemana pun memikul buku di pundaknya.
Belum lagi Abdullah Mubarok, Adz-Dzuli, Ibnu Arabi, Ar-Razi, Ibnu Asakir, yang kehidupan mereka dipenuhi dengan membaca dan menulis. Tiada hari tanpa menelaah kitab.
Mereka selalu bahagia dan tidak pernah kesepian. Karena selalu ditemani oleh buku-buku. Ada yang sehari-hari mengkhatamkan puluhan buku. Satu bulan ratusan bahkan puluhan ribu buku selesai terbaca.
Inilah budaya dan peradaban keilmuan yang luar biasa. Benar-benar buku menjadi inspirasi membuka pintu-pintu ilmu. Mereka tidak hanya menjadi pembaca, tetapi berkarya. Setiap harinya puluhan lembar tertoreh dari tangan-tangan mulia mereka.
Dosen Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang ini menambahkan. Bisa dibayangkan berapa jilid buku yang diselesaikan dalam satu tahun saja.
Maka tidak heran satu tangan penulis melahirkan ratusan buku. Satu judul buku lebih dari 20 jilid. Adakah yang menandinginya hari ini?
Bulan Ramadhan, bulan membaca. Seperti Al Aswad bin Yazid yang khatam Alqur’an setiap dua malam. Qotadah yang mengkhatamkan setiap tiga hari. Imam Asyafii khatam 60 kali dalam bulan Ramadan. Ibnu Asyakir setiap hari mampu mengkhatamkan Al-Qu’ran.
Sungguh, bulan yang diberkati ini melahirkan banyak karya. Para ulama berlomba-lomba membaca sumber segala ilmu, Al-Qur’an.
Bila dunia membaca telah hilang dari komunitas, sekolah, kampus dan negara. Maka hal tersebut menjadi tanda dari kematian ilmu. Seandainya ada bulan membaca, maka bulan Ramadan-lah yang lebih pantas. (yan)