AMEG – Dimana titik nol Kilometer Malang? Wartawan muda menyebut di Buk Gludug Brantas. Jurnalis senior lainnya menjawab di Merdeka Utara Alun-Alun. Ya, Kota Malang memiliki 2 petanda nol Kilometer. Keduanya asli peninggalan Belanda.
Beberapa daerah besar, nol Kilometer menjadi obyek wisata juga ikon kota. Sebut saja, Yogyakarta dan Surabaya. Kedua kota besar ini mengemasnya menjadi menarik perhatian masyarakat dan wisatawan.
Sementara, tidak semua warga Malang tahu letak titik nol Kilometer. Dan adanya 2 titik nol jadi teka-teki apa sebabnya. Yang jelas, bersyukur warga dan pemerintah masih menjaga petanda jarak itu.
“Saya dulu (Februari–red) sudah menulisnya, cukup panjang, silahkan dibaca,” ungkap Dwi Cahyono, sejarawan Malang kepada DI’s Way Malang Post.
Merunut tulisan Dwi dalam Nusadaily.com, dua pal dipastikan asli dan memiliki waktu berbeda pada masa kolonial. “Kedua pal ini tetenger sejarah. Bagian dari sejarah Malang,” ungkap Dwi Cahyono saat dihubungi DI’s Way Malang Post.
Menurut Dwi, unsur sebutan tugu “0 (Nol) Kilometer” menyiratkan makna bahwa tonggak menandai titik mula atau pangkal dari suatu perhitungan jarak. Penempatannya di tempat yang memiliki arti penting bagi suatu daerah.
Titik lokasi dipandang penting itu karena menjadi “sentra” daerah. Bisa sentra pemerintahan atau sentra ekonomi, ataupun keduanya. Pada sosio-budaya Jawa, tempat yang dipandang sebagai sentra satu diantaranya, Alun-alun/Alon-alon.
Di Malang, alun-alun tersebut adalah “Alun-Alun Kotak (dinamai juga menurut nama jalannya dengan “Alun- Alun Merdeka” dibangun tahun 1882. Saat itu, Malang masih berstatus “kaboepaten (regent)”.
Untuk kepentingan kolonial, maka Pemerintah Hindia Belanda menempatkan Asisten Residen, yang berkantor di sisi selatan Alun-Alun Kotak — kala itu pusat karesidenan berada di Pasuruan.
Pemilihan lokasi Alun-Alun mempertimbangkan akses “jalan poros” dengan arah utara-selatan yaitu Koridoor Kajoe Tangan yang bersinambung dengan Koridoor Celaket dan seterusnya ke Surabaya ataupun Pasuruan.
Jarak antar daerah (Regent Malang) dengan daerah-daerah di sekitarnya dihitung dengan “titik pangkal” Alon-Alon Kotak ini.
Posisi penting Alun-Alun Kotak kian menguat lantaran dalam rencana pengembangan (bouw pland) Kota Malang ke dalam delapan tahap menggunakan “model jajaring (grid system’) dengan Alon-Alon Kotak sebagai “titik pusatnya”.
Tergambar bahwa penempatan pal (tugu petanda jarak antar daerah) diposisikan di areal titik pusat ini, tepatnya di sisi utara Alon-Alon Kotak depan gedung Bank Escompto.
Sangat tepat kesentralan Alon-Alon Kotak tersebut menjadi dasar pertimbangan untuk menempatkan “titik nol” bagi jarak antar daerah dari/ke daerah Malang. Tentu tugu ini dibuat setelah atau bersamaan waktu dengan pembangunan Alon-Alon Kotak, dekade 1880-an.
Adapun penempatan tugu “0 kilometer” pada pengujung selatan pagar Buk Gludug mempertimbangkan arti penting dari Koridoor Boldy (Pertukangan dan Martadinata). Kala itu Boldy Straat adalah ”sentra ekonomi” Malang, yang berada di klaster “Pecinan Besar’.
Sebutan “Pecinan (pe-Cina-an)” memuat informasi bahwa areal ini dalam strategi kolonial dilokasikan sebagai permukiman warga etnik Tiong Hoa dan menjadi pelaku ekonomi utama di sepanjang koridor Boldy.
Seiring perubahan sistem pemerintahan dari “Katumenggungan Malang” menjadi Kabupaten Malang” pada dekade kedua tahun 1800-an dan pergeseran pusat pemerintahan menuju ke arah barat. Maka terjadi pula perluasan (expansion) areal tinggal warga Tiong Hoa ke arah itu, dan terbentuklah areal “Pecinan Kecil”.
Selain itu, Koridoor Boldy berada di wilayah Kelurahan Jodipan juga menjadi sentra Pemerintahan Katumenggungan Malang pada pra tahun 1819.
Adanya “Kampung Tumenggungan” dan makam tokoh keramat “Mbah Menggung” pada Kelurahan Jodipan terdapat petunjuk bahwasanya areal ini konon dijadikan sebagai sentra dari Pemerintahan Katumenggungan Malang.
Koridor ini pula merelasikan 2 stasiun kereta api (KA) di Malang. Kesentralan ekonomi maupun pemerintahan itulah yang nampaknya menjadi pertimbangan penempatan tugu “Nol Kilometer” Malang di ujung selatan Buk Gludug.
Apabila menilik dinamika perkembangan sentra kota Malang, baik sentra ekonomi ataupun pemerintahan dari masa ke masa, boleh jadi “Titik Nol” Malang yang lebih awal adalah yang berada di ujung selatan Buk Gludug.
Kurang lebih setengah hingga tiga perempat abad kemudian, dibuatlah “paal (tugu) penanda jarak” pada sisi utara Alon- Alon Kotak. Meski telah dibuat tugu “Titik Nol” yang baru di Alon-Alon Kotak itu, namun tugu “Titik Nol” terdahulu di ujung selatan Buk Gludug tak lantas dibongkar. Sehingga terdapat 2 tugu “Titik Nol”.
Fenomena “Dua Tugu Nol Kilometer” di Kota Malang memberi gambaran akan dinamika sejarah Kota Malang. Khususnya mengenai tempat-tempat yang konon pernah dan kini masih menjadi titik pusat (sentra) daerah.
Sebelum 1800-an Koridoor Boldy pernah berperan sebagai sentra ekonomi dan pemerintahan. Ketika memasuki tahun 1800-an posisi petanya tergantikan oleh Alon-Alon Kotak. (yan)