Catatan Edy Rumpoko
Sekitar tahun 1977, lagi ngobrol sama teman-teman sekolah di pavilion rumah sahabat, saat itu berumur 17 tahunan. Muncul ide saya bersama lima teman untuk membuat event folk song. Saat itu, musik folk song lagi ngetrend. Kalau sekarang, semacam grup musik akustik.
Dengan modal uang jajan sekolah, masing-masing kita kumpulkan untuk cetak kop surat. Mesin ketik di pavilion rumah sudah tersedia. Kami membuat konsep acaranya. Di pavilion itu jadi sekretariat pendaftaran. Dan dengan tekad, kami berenam mencari sponsor radio amatir untuk mempromosikan gelar folk song itu.
Kami berenam berbagi tugas. Ada yang urusan perijinan sekaligus bagian ketik dan pendaftaran peserta. Ada yang mengurus bikin spanduk dan urusan lain-lain.
Bisa dimaklumi pada masa itu, kita berenam belum punya pengalaman apapun. Tugas kita kerjakan tiap hari, setelah pulang sekolah. Dari siang sampai sore.
Kalau malam, kumpulnya hanya hari Sabtu dan Minggu. Untuk dua hari itu diisi diskusi, membahas tugas. Sambil kami promo di radio amatir.
Menjelang hari pelaksanaan tugas semakin padat. Mempersiapkan gedung event, sound system dan lain sebagainya.
Diluar dugaan, jumlah peserta yang mendaftar sangat banyak. Tentunya kita semua senang melihat gairah peserta yang luar biasa itu.
Singkat cerita, acara berlangsung lancar. Penonton banyak sekali. Membludak. Didukung teman-teman yang lain, event folk song di kota Malang terbilang sukses.
Alhamdulillah, saat itu jadi pembicaraan kaum muda kota Malang.
Sukses gaung bersambut. Kami berenam dan teman-teman lain yang ikut menjadi panitia, diminta menggelar event lain.
Dengan senyum persahabatan semua saat itu, kesuksesan event folk song jadi tantangan. Kita harus terus berkreasi.
Sejak itu mulai terpikir untuk membentuk kelompok anak muda. Agar lebih ada identitas. Kita sepakati pavilion dijadikan sekretariat.
Bermodal mesin ketik, uang sangu sekolah untuk cetak kop surat. Akhirnya kami bisa bikin banyak event yang kita gelar di kota Malang.
Tidak terasa berjalannya waktu bergerak cepat. 30 tahun kemudian, saya mulai branding KWB (Kota Wisata Batu) agar dikenal di Jawa Timur. Bahwa, kota Batu adalah kota Wisata.
Saya ajak warga untuk punya peran penting dalam branding kota. Warga terlibat sebagai marketing. Ikon wisata harus terus dipromosikan. Semua wajib jadi marketing meski saat itu fasilitas minim. Belum punya kantor yang memadai.
Anggaran sangat minim. Yang bikin trenyuh, hampir 90% ASN Pemkot Batu pakai motor roda dua. Bahkan, masih banyak yang berangkat kerja pakai kendaraan umum (angkot).
Belum terlihat mobil-mobil berkelas berseliweran di jalanan umum di kota Batu, waktu itu.
Di desa, saat itu masih bisa bertemu petani memanggul rumput untuk pakan ternak. Semua aktivitas bisa dilihat dengan kesibukan masing-masing. Meski begitu mereka saling kenal.
Dengan berjalannya masa dan waktu, kehidupan demokrasi, beragama, ekonomi dan sosial budaya semakin berkembang bagus. Semangat guyub rukun warga KWB menjadi modal kehidupan yang dahsyat.
BRANDING, MARKETING, MANAGEMENT adalah kunci KWB disebut “Swiss Kecil” di Pulau Jawa. Mari kita sama-sama merenungkan KWB (Kota Wisata Batu) dengan RASA. (*)