
Laut China Selatan saat ini merupakan pembicaraan yang hangat di berbagai kalangan, hal ini dikarenakan adanya gesekan antara China dengan Amerika Serikat juga dengan negara-negara pada Asia Tenggara, dan karena itulah konflik perbatasan lautan yang mengampit 8 negara ini kembali panas setelah bertahun-tahun berkonflik sekian lamanya, dan konflik ini juga menyeret Indonesia pada tahun 2017 ketika Natuna Utara diklaim oleh China dan dimasukan pada wilayahnya di peta Republik Rakyat Tiongkok. Akibatnya negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia, berlomba-lomba memperkuat kekuatan militernya dan menaikan anggaran militernya dari 2007 sampai saat ini..
Konflik perebutan wilayah Laut China Selatan sendiri sudah muncul sejak abad ke-15. Namun masalah ini kembali muncul pada Abad ke-21 yang dimana China mengklaim hampir 90 persen dari Laut China Selatan dan mengakui klaimnya atas dalih aspek sejarah, dan karena hal tersebut banyak negara Asean yang memprotes akan klaim dari China, dan membawanya pada Pengadilan Internasional. Dan pada akhirnya keputusan pengadilan menolak atas klaim China karena tidak sesuai dengan hukum internasional, meskipun di tolak atas klaimnya China kerap melanggar dan membangun pulau buatan di wilayah sengketa, dan dirumorkan juga membangun fasilitas militer dari pulau buatannya, sehingga hal tersebut membuat Amerika Serikat berserta sekutunya mengirimkan armadanya pada Febuari lalu di wilayah sengketa Laut China Selatan dengan membawa kapal induknya dan beberapa kapal pengancur, yang ditambah oleh Inggris dengan membawa HMS Queen Elizabeth serta Perancis dan Jerman juga turut mengirimkan armadanya seperti kapal selam nuklir dan lainnya. China meresponnya dengan kecaman keras dan akan melakukan hal preventif terhadap aksi yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Sekutunya. Dan sejak pengiriman armada tersebut, konflik Laut China Selatan semakin memanas sampai saat ini dan berpotensi menjadi konflik militer yang terbesar sejak perang dunia ke-2.
Dan untuk menjawab masalah dari konflik tersebut, Amerika Serikat juga membuat pertemuan dengan negara-negara lain untuk merespon ancaman dari China, dan mengambil langkah yang dapat digunakan sebagai strategi untuk melemahkan pengaruh China baik di Laut China Selatan maupun pada dunia internasional, dan pertemuan itu dilakukan dengan India, Australia, Jepang dan Amerika Serikat sendiri, sehingga pertemuan tersebut dinamakan pertemuan ‘Quad’. Pertemuan perdana ini dilakukan secara virtual pada sabtu pagi (13/03/2021), yang dihadiri oleh pemimpin dari keempat negata tersebut untuk membahas keamanan Indo-Pasifik dan China itu sendiri, dan tidak hanya itu mereka juga membahas isu lingkungan, serta masalah pandemi seperti pendistribusian vaksin terhadap Asean dan negara di Indo-Pasifik, dan tentunya hal itu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan negara-negara Indo-Pasifik dan Asean termasuk Indonesia terhadap vaksin China dan pengaruhnya dalam berbagai sektor. Pertemuan akan di lanjutkan dan para pemimpin dari keempat negara tersebut akan bertemu secara langsung pada akhir tahun 2021, untuk membahas lebih lanjut terhadap masalah ini.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?, dengan konflik yang ada di depan mata bagaimana sikap pemerintah Indonesia dan keberpihakan Indonesia untuk merespon konflik Laut Cina Selatan, apakah berpihak ke Amerika Serikat atau condong ke China, tentunya Indonesia sebagai negara non-blok kita di bekali untuk tetap netral, tapi apakah netral itu merupakan hal yang tepat pada saat ini?. Dan sikap netralitas Indonesia pada konflik Laut Cina Selatan di perkuat oleh pernyataan dari Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Achmad Riad, yang berkata bahwa TNI tidak memihak atau netral terhadap China ataupun terhadap Amerika Serikat terkait konflik pada Laut Cina Selatan, dan katanya hal itu terjadi karena terkait dengan kebijakan politik Indonesia yang bersifat Non-Blok, sehingga saat ini Indonesia tidak mengikut antar kedua negara tersebut, Ucap Pak Achmad Riad di kantornya yaitu Mabes TNI Cilangkap Jakarta Timur, pada tanggal 10 Maret 2021 lalu.
Dengan sikap netralitas Indonesia, hal ini tentu cukup menarik untuk dibahas apabila jika konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan pecah dan terjadi konfrontasi langsung antara Amerika Serikat dan China, apakah Indonesia tetap netral atau malah berpihak kepada salah satu pihak?, karena mau tidak mau konflik Laut Cina Selatan pasti akan menyeret Indonesia didalamnya karena letak yang srategis dan jalur yang dapat menguntungkan setiap pihak, dan tentunya setiap pilihan pasti ada resikonya, dengan ketergantungan Indonesia pada kedua negara tersebut, pasti akan menyulitkan pemerintah untuk mengambil keputusan. Seperti ketika adanya penyediaan vaksin di Indonesia, kita sangat mengandalkan China untuk menyediakan vaksin, hal itu telihat ketika pada awal 2021 proses vaksinasi di Indonesia lebih banyak menggunakan sinovac yang didatangkan pertama kali pada Desember tahun lalu dengan dosis 1,2 juta, lalu Indonesia juga membeli AstraZeneca dari Inggris yang merupakan salah satu sekutu dari Amerika Serikat, dan dalam hal alusista Indonesia memiliki alusista dari Rusia, Amerika Serikat, Perancis dan negara lainnya, sehingga sangat di pastikan Indonesia sangat bergantung pada kedua pihak yang berkonflik di Laut Cina Selatan. Selain ketergantungannya, Indonesia memiliki hubungan yang baik antara dua negara tersebut, walaupun pada China masih terbentur dengan kasus laut Natuna yang terjadi belakangan ini, tapi selain itu hubungan Indonesia dengan keduanya sangat dibilang “baik-baik” saja.
Dalam hal ekonomi kedua negara tersebut sangat penting bagi Indonesia dan merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar untuk Indonesia, dan jumlah investasi asing pun yang Amerika Serikat dan China berikan ke Indonesia juga sangat besar pengaruhnya, akan tetapi berdasarkan dari pandangan berbagai ahli, Indonesia dalam kegiatan ekonominya lebih condong ke China, hal itu terlihat ketika pemerintah lebih membuka ruang untuk China berinvestasi daripada negara-negara lainnya seperti program OBOR ataupun program lain-lainnya, tetapi dalam masalah militer Indonesia kerap condong ke Amerika Serikat dan sekutunya, seperti rencana pembelian rafaele dari Perancis ataupun pembelian F-16 dari Amerika Serikat, sehingga dapat dilihat pemerintah Indonesia sedang mejalankan politik dua kaki yang mengandalkan kekuatan dari kedua pihak tersebut, namun hal itu akan berbeda jika kedua negara tersebut berkonflik, Indonesia terpaksa harus memilih salah satu dari mereka.
Jika Konflik pada Laut Cina Selatan pecah, seharusnya pemerintah condong terhadap pihak yang paling menguntungkan Indonesia dan yang menjaga kepentingan Indonesia di kawasan tersebut dan tentunya yang menjaga kedaulatan dari wilayah Indonesia sendiri, terlepas dari resikonya menjadi netral pada kasus ini hanya akan memperparah kedudukan Indonesia di konflik Laut Cina Selatam,karena Indonesia pasti terdampak oleh konflik tersebut dan menyebabkan kondisi ekonomi, politik yang tidak stabil. Dan juga bisa menyebabkan konflik antara masyarakat yang pro atau kontra terhadap netralitas.
Penulis: Michael Ivan (Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya)