Malang – Pupuk telah menjadi input produksi wajib dalam budidaya padi di Indonesia. Untuk setiap ton gabah yang dihasilkan, tanaman padi memerlukan hara Nitrogen sebanyak 17,5 kg (setara 39 kg Urea), Phospor 3 kg (setara 9 kg SP-36) dan Kalium sebanyak 17 kg (setara 34 kg KCl).
Dalam satu musim tanam padi pada luasan satu hektare dibutuhkan pupuk Urea (Nitrogen) 300 kg, SP36/TSP (Phospor) 100 kg, dan KCl (Kalium) 100 kg. “Dengan luas baku sawah seluas 7,46 juta hektare, kebutuhan pupuk untuk padi sawah di Indonesia mencapai 23,4 juta ton per tahun,” ujar Dr. Ir. Sutawi MP, Dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UMM.
Berdasarkan pengadaan dan penyalurannya dikenal pupuk bersubsidi dan nonsubsidi. Pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah. Pupuk nonsubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya di luar program pemerintah dan tidak mendapat subsidi.
Sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 49/2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Sektor Pertanian Tahun Anggaran (TA) 2021, pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi petani yang telah bergabung dalam kelompok tani yang menyusun Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK). Ketersediaan pupuk bersubsidi seringkali mengalami kelangkaan ketika musim tanam.
Menurut Sutawi, kelangkaan pupuk bersubsidi berkaitan dengan beberapa faktor. Pertama, anggaran pupuk bersubsidi terbatas. Berdasarkan usulan sistem e-RDKK dari seluruh daerah, kebutuhan pupuk tahun 2021 mencapai 23,4 juta ton senilai Rp 67,12 triliun. Sementara anggaran subsidi pupuk pada tahun 2021 hanya sebesar Rp 25,277 triliun.
Dengan anggaran itu, pemerintah hanya mampu memenuhi kebutuhan pupuk subsidi sebesar 9,04 juta ton (39 persen). Padahal, rata-rata realisasi penyaluran pupuk subsidi periode 2018-2020 sudah mencapai Rp 32,584 triliun, sehingga kekurangan anggaran Rp 7,307 triliun.
Petani penerima pupuk bersubsidi adalah petani yang memiliki lahan seluas kurang dari 2 hektare. Hasil Survei Pertanian Antar Sensus oleh BPS tahun 2018 mencatat, petani dengan kategori itu sebanyak 22,38 juta. Sementara yang terdaftar dalam e-RDKK untuk mendapatkan pupuk bersubsidi hanya 17,05 juta (76 persen). Sisanya 5,33 juta (24 persen) petani tidak masuk dalam e-RDKK.
Jika ketersediaan pupuk bersubsidi 9,04 juta ton dibagi jumlah petani yang terdaftar 17,05 juta, maka setiap petani rata-rata dapat membeli 530 kg pupuk bersubsidi. Besarnya perbedaan antara kebutuhan pupuk (23,4 juta ton) dengan alokasi pupuk bersubsidi (9,04 juta ton) berpotensi menimbulkan isu kelangkaan pupuk bersubsidi.
Kedua, perubahan pola distribusi pupuk subsidi dari manual ke Kartu Tani. Pola ini dimaksudkan untuk membuat distribusi pupuk subsidi semakin tepat sasaran. Sayangnya, distribusi Kartu Tani di lapangan belum merata, sehingga petani yang belum mengantongi Kartu Tani kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi.
Selain itu, dalam sistem Kartu Tani ini, pemerintah hanya memberi jatah pupuk subsidi rata-rata sebanyak 10 kg per 0,1 hektar atau 100 kg per 1 hektar. Jatah pupuk bersubsidi sebanyak ini sangat jauh di bawah kebutuhan petani. Dalam satu kali musim tanam petani melakukan dua-tiga kali pemupukan.
Ketiga, harga pupuk nonsubsidi sangat mahal. Kehidupan petani semakin terjepit antara biaya dan harga (farm cost-price squeeze). Biaya sarana produksi pertanian cenderung naik, sementara harga jual hasil pertanian cenderung stabil. Bahkan menurun. Penggunaan pupuk bersubsidi oleh petani adalah upaya untuk menurunkan biaya produksi.
Dalam struktur biaya produksi padi sawah sebesar Rp 13,56 juta per hektar, biaya pupuk menduduki peringkat ketiga terbanyak (9,43 persen), setelah upah pekerja dan jasa pertanian (48,79 persen) dan sewa lahan (25,61 persen). Jika menggunakan pupuk nonsubsidi, maka biaya pupuk bisa meningkat 2-3 kali lipat.
Keempat, petani padi sangat membutuhkan bantuan pupuk. Petani padi sebenarnya termasuk kelompok masyarakat yang kurang sejahtera. Dalam satu musim tanam tingkat keuntungan petani sekitar Rp 4,95 juta per hektar atau sekitar Rp 1,65 juta per bulan. Dengan rata-rata kepemilikan lahan sekitar 0,4 hektar, berarti penghasilan petani hanya sekitar Rp 660 ribu per bulan.
Hasil Survei Ongkos Usaha Tani Tahun 2017 (SOUT-2017) memberi konfirmasi bahwa 99,58 persen rumah tangga petani padi menyatakan membutuhkan bantuan dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Mayoritas (55,70 persen) rumah tangga menyatakan bahwa jenis bantuan yang paling dibutuhkan adalah pupuk.
Kelima, aplikasi pupuk organik tidak praktis dan tidak ekonomis. Hasil SOUT-2017 menunjukkan jumlah rumah tangga padi sawah yang menggunakan pupuk anorganik mencapai 99,87 persen, sedang pemakai pupuk organik hanya 0,13 persen.
Substitusi pupuk anorganik dengan pupuk organik secara teknis memang dapat mengurangi aplikasi pupuk anorganik. Namun, secara ekonomis tidak serta merta mengurangi biaya produksi. Pupuk organik memang lebih murah, tetapi penggunaannya lebih banyak dan menambah biaya tenaga kerja. “Selain itu, respons tanaman terhadap pupuk organik lambat karena kandungan unsur hara pada pupuk organik hanya 1%-2%, sehingga dapat mengakibatkan penurunan produksi padi,” pungkas Sutawi. (roz/ekn)