Dalam berbagai refleksi yang penulis telah rajut di beberapa artikel sebelumnya tentang kebudayaan, menyiratkan bahwa budaya adalah hal yang tidak hanya penting, tetapi bahkan selalu penting karena erat terkait dengan manusia dan mempengaruhi manusia dalam segala dimensinya. Budaya selalu mempengaruhi setiap realitas hidup manusia. Maka karena itu, secara sederhana budaya dapat dimengerti sebagai endapan kegiatan dan karya manusia. Kebudayaan merupakan manifestasi kehidupan manusia. Demikian juga manusia selalu mengubah realitas/peradaban melalui kegiatan hidupnya. (van Peursen 1976: 11). Itulah kebudayaan.
Kebudayaan yang sedemikian dekat dengan kehidupan manusia dan yang mampu mengubah kehidupan manusia, juga erat terkait dengan berbagai fenomena yang muncul di segala zaman. Sebut saja fenomena kewirausahaan (enterpreneurship), yang belakangan muncul sebagai sesuatu yang menjadi pilihan utama untuk pengembangan suatu produk, telah pula melahirkan ‘culturepreneurship’.
Jika kita mengamati seputar ‘culturepreneurship’ saat ini, tampak jelas bahwa hal tersebut memantik ide dan gagasan para pelaku budaya untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam mengembangkan budaya. Demikian pun, upaya-upaya positif telah pula dimaksimalkan secara kreatif, dengan mengolaborasikan berbagai wajah budaya tradisionalnya dengan tata kelola modern, demi menciptakan industri budaya yang memiliki peluang yang menjanjikan.
Fakta kewirausahaan budaya yang menjanjikan yang sedemikian masif berkembang saat ini, seyogyanya turut didorong oleh munculnya fenomena global, seperti tumbuh dan berkembangnya masyarakat jaringan, yang struktur sosial masyarakatnya berbasis pada teknologi komunikasi dan informasi yang dijalankan oleh jaringan. Apapun dilakukan oleh para pelaku budaya untuk ‘menyerahalihkan’ atau mentradisikan produk budaya kepada generasi selanjutnya.
Kendati begitu, apakah pentingnya ‘culturepreneurship’ itu? Mendasari itu, kita perlu memahami kunci utama dari ‘culturepreneurship’ itu. ‘Culturepreneurship’ merupakan sebuah strategi budaya dan strategi pengembangan kebudayaan, yang mewujud dalam berbagai kreativitas dalam ‘menyerahalihkan’ sebuah budaya kepada generasi selanjutnya. Di sisi yang sama, kewirausahaan di bidang budaya berarti mengkreasikan ide-ide kreatif dan menjalankannya dalam jalur bisnis. (Toghraee & Monjezi, 2017: 67-73). Maksudnya, di dalam kerangka kewirausahaan, budaya harus diinovasikan dan dibuka untuk ‘kemungkinan-kemungkinan penciptaan hal baru’. Maka untuk bisa menciptakan suatu ‘kebaruan’ dalam budaya, pelaku budaya harus menciptakan ‘branding’.
Branding menjadi penting, karena branding inilah yang nantinya akan menciptakan keterkaitan emosional dan psikologis dengan konsumen, yang turut pula menciptakan nilai finansial bagi pemilik ‘brand’. (Njotoprajitno 2016: 3). Dari faka ini, hal terpentingnya adalah bahwa produk budaya sebisa mungkin dibuatkan ‘brand’, demi mengikat konsumen untuk bisa memanfaatkan dan menggunakan produk tersebut. Jadi, konsep kewirausahaan budaya dibentuk sebagai sarana yang tepat untuk sebuah industri budaya yang kreatif. Dengan demikian maka kewirausahaan di bidang budaya akan terkait dengan sebuah penciptaan produk budaya yang kreatif, yang bisa bersaing di pasar.
Fakta yang bisa kita amati di tengah realitas kini, adalah upaya untuk mengolaborasikan berbagai kekhasan budaya dengan berkembangpesatnya teknologi informasi. Fakta ini sudah seharusnya digunakan untuk ‘menciptakan kebaruan’ dalam pengembangan budaya, dalam artian bahwa budaya harus berbasis pada teknologi informasi itu. Demikian pun, upaya untuk berkolaborasi dan membangun ruang kolektivitas dalam sebuah pengembangan budaya harus ada. (Bdk., Tom Aageson, 2010.) Di sisi lain, dalam kerangka ‘menciptakan suatu kebaruan dalam budaya’, kita pun perlu menyusun sebuah tata kelola yang baik, yang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi serta dunia digital, termasuk mempromosikan secara maksimal melalui twitter, iklan tv, dlsb. Jadi, ‘culturepreneurship’ adalah pekerjaan yang bergeser dari ‘membuat budaya’ kepada ‘menerapkan budaya’.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa, fenomena culturepreneurship yang merupakan salah satu lahan yang subur untuk mengembangkan budaya, perlu dengan sungguh-sungguh menggabungkan antara dunia industri/bisnis dengan dunia kreativitas budaya, yang dilakukan secara bersama untuk memenuhi pasar. (Lange&Goethe, 2002). Didalamnya produk-produk budaya harus dikreasikan secara menarik seperti berkolaborasi secara massif dengan dunia teknologi informasi seperti: Menemukan cara untuk meningkatkan layanan di bidang budaya, memahami bagaimana kerja-kerja budaya dapat dilakukan dengan lebih cerdas, serta peningkatan kualitas layanan atau produk di bidang budaya yang semakin mudah.
Penulis : Ambrosius M. Loho, M. Fil. (Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado, Pegiat Filsafat).