Rilis pertama kasus pandemi corona di Indonesia dimulai pada Awal Maret 2020. Pandemi ini bukan hanya mempengaruhi perekonomian di Indonesia, namun seluruh negara di dunia. Benarkah pandemi yang tak kunjung berakhir, meningkatkan angka penyakit kejiwaan di Indonesia?
Imbas Pandemi pada Sektor Perekonomian
Pemerintah di seluruh belahan dunia memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat menghadapi pandemi corona. Sekretaris Jenderal OECD, Anggel Guria, menyatakan bahwa perekonomian global akan tumbuh sebesar 4,2%. Pertumbuhan cukup kuat. Tapi ini membuat laju negara OECD lebih kecil pada akhir 2021 dibandingkan 2019. Diproyeksikan PDB global mencapai USD 7 triliun, sekitar sepertiga dari ekonomi Amerika Serikat. “Dampak pandemi sangat besar pada sisi kemanusiaan dan dan memakan biaya yang sangat mahal pada sisi ekonomi.”ungkap Angel Guria.
Kecuk Suhariyanto, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), melalui rilis yang diadakan pada hari Jumat, tanggal 5 Februari 2021, mengungkapkan bahwa perekonomian di berbagai negara pada triwulan IV 2020 membaik meskipun masih lemah. PDB per kapita Indonesia menurun dari 59,1 juta rupiah pada 2019 menjadi 56,9 juta rupiah pada 2020. Secara umum ekonomi Indonesia terkontraksi sebesar 2,19%.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) saat Pandemi
Dalam Pemantauan ILO edisi ke 2 Covid-19 dan dunia kerja, disampaikan bahwa tindakan karantina penuh atau parsial sudah berdampak pada 2,7 miliar pekerja yang mewakili 81% tenaga kerja di dunia. Perubahan dalam jam kerja yang mencerminkan PHK dan pengurangan jam kerja dapat memberikan gambar terhadap situasi pasar tenaga kerja saat ini. Berdasarkan data ILO dinyatakan bahwa kerugian jam kerja pada tahun 2020 adalah empat kali besar dibandingkan krisis global tahun 2009.
Suharso Monoarfa, Kepala Bappenas, menyatakan bahwa 24 juta tenaga kerja yang kehilangan jam kerja akibat pandemi corona. Bukan kehilangan pekerjaan, tapi 24 juta tenaga kerja kehilangan jam kerja, separuh waktu jam kerja hilang. Pandemi yang mengakibatkan kondisi perekonomian memburuk diisukan juga dapat meningkatkan stress hingga mengakibatkan penyakit kejiwaan.
Penurunan Ekonomi Meningkatkan Penyakit Kejiwaan?
Penurunan ekonomi yang menyebabkan kontraksi pada berbagai sektor ekonomi, pengurangan jam kerja, bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) memicu gangguan mental dan kondisi jiwa masyarakat. WHO menyatakan dampak krisis ekonomi terhadap kesehatan mental meningkat karena stres dan kecemasan. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melakukan survei mengenai kesehatan mental melalui swaperiksa yang dilakukan secara daring. Responden tertinggi berasal dari Jawa Barat 23,4%, DKI Jakarta 16,9%, dan Jawa Tengah 15,5%. Diperoleh hasil survei 63% responden merasa cemas dan 66% responden depresi selama pandemi terjadi . Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan di 34 provinsi kepada 2.364 responden menunjukkan bahwa 68% response cemas dan 67% mengalami depresi.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian kesehatan, Siti Khalimah, menyampaikan bahwa kasus pasung akibat gangguan jiwa bertambah dari 5.200 pada 2019 menjadi 6.200 pada 2020. Secara global terdapat empat faktor risiko utama depresi yang muncul akibat pandemi corona (Thakur dan Jain, 2020) dan salah satu penyebabnya adalah resesi ekonomi. Pandemi menimbulkan resesi global yang meningkatkan pengangguran dan tekanan ekonomi. Perasaan ketidakpastian, putus asa, dan tidak berharga juga muncul akibat pandemi ini.
Menilik fakta diatas, penurunan ekonomi saat pandemi berkorelasi positif terhadap penyakit kejiwaan di Indonesia. Pemerintah telah menetapkan ketentuan mengenai kesehatan Jiwa dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Upaya kesehatan jiwa telah dilakukan pemerintah dengan melakukan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi dengan dukungan Pemerintah Daerah dan Masyarakat.
Psikolog, Made Diah Lestari, S.Psi, M.Psi menyampaikan piramida intervensi dukungan psikososial yaitu 70-80% pemenuhan kebutuhan dasar dan rasa aman, 20% aktivitas dukungan sosial dan keluarga, 2-3% adalah layanan spesialis. Ketidaksesuaian pemenuhan dukungan psikososial ini mengakibatkan stress hingga munculnya penyakit kejiwaan.
Abraham Maslow, tokoh psikologi Amerika Serikat, sesuai teori kebutuhan Maslow menyatakan bahwa seseorang harus terpenuhi kebutuhan di tingkat terendah sebelum memenuhi kebutuhan dengan tingkat diatasnya. Hierarki Kebutuhan Maslow dari tingkat terendah hingga tertinggi yaitu kebutuhan fisiologis , rasa aman , rasa memiliki dan kasih sayang ,dan kebutuhan aktualisasi.
Kebutuhan paling dasar pada setiap orang adalah kebutuhan fisiologis (kebutuhan mempertahankan hidup secara fisik) yang meliputi kebutuhan akan makanan, minuman, tempat berteduh, tidur dan oksigen (sandang, pangan, papan). Saat perekonomian buruk dan kebutuhan dasar tidak terpenuhi, kebutuhan yang lebih tinggi tidak akan terpenuhi Teori tersebut selaras dengan peningkatan jumlah penyakit kejiwaan yang berkorelasi positif dengan penurunan ekonomi.
Pemerintah menerapkan berbagai kebijakan untuk melindungi perekonomian misalnya langkah Kementerian Keuagan yang memberikan insentif pajak, selain itu Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan aplikasi Sejiwa. Aplikasi ini dihasilkan karena pemerintah sudah mengantisipasi dampak pandemi, salah satunya dari sektor ekonomi yang menimbulkan penyakit kejiwaan. Masyarakat bisa mengakses layanan sejiwa dengan menelepon hotline di nomor 119 ekstensi 8. Penelepon akan dapat melakukan konsulltasi masalah psikologis yang dihadapi selama pandemi dengan relawan dari Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) untuk mendapatkan bantuan.
Diperlukan peran seluruh elemen untuk meringankakan beban pemerintah menyelesaikan permasalahan ekonomi dan kejiwaan saat pandemi.
Penulis : Ella Mulyantika Aprilia (KPP Wajib Pajak Besar Tiga)