Oleh: Dahlan Iskan
Nama lengkap Anda siapa?” tanya saya. “Syafril saja,” jawabnya. “Berarti Anda satu-satunya orang Padang yang namanya hanya satu kata,” komentar saya. Ia hanya tertawa. “Di KTP dan SIM juga hanya satu kata?” ‘’Iya”. “Kalau di paspor?” “Di paspor nama saya Syafril Abdul Rahim Pak,” jawabnya. Ia cantumkan nama ayahnya di belakang kata Syafril.
Kantor imigrasi memang tidak mau membuatkan paspor kalau nama pemohonnya hanya satu kata. “Sebenarnya waktu kecil saya punya nama tiga kata: Andhika Syafril Tanjung. Tapi ruwet. Lalu pakai Syafril saja,” katanya. “Kenapa ruwet?” “Ibu saya Padang. Marga Koto. Sesuai adat Minang berarti saya harus pakai marga ibu. Tapi ayah saya Batak. Marganya Tanjung. Menurut budaya Batak saya juga harus pakai marga Tanjung. Lalu tidak saya pakai dua-duanya,” ujar Syafril.
Ayahnya memang datang dari kampung dekat Sibolga itu. Satu marga dengan tokoh seperti Akbar Tanjung. Atau Jenderal Faisal Tanjung. Syafril ke rumah saya tadi malam. Disambut hujan deras yang panjang. “Pak Dahlan sehat sekali,” komentarnya. Berarti tidak meninggal dunia seperti beredar di medsos.
Kami ngobrol sampai jam 10 malam. Hujan belum juga reda. Syafril dan rombongan dari pengurus pusat sebuah partai baru itu pamit. Langsung balik ke Jakarta.
Saya tertarik dengan Syafril karena disertasi doktornya. Yang ia pertahankan dua tahun lalu. Judulnya pun sudah terasa baru: Pengadaan Barang di Kementerian Sosial yang Rawan Korupsi. Sekarang judul itu terasa lebih aktual lagi karena korupsi bansos besar-besaran di Kemensos terbongkar.
Syafril memang meneliti sistem pengadaan barang di Kementerian Sosial. Beberapa tahun lalu. Penelitian itu ia jadikan disertasi gelar doktor hukum. Kesimpulan Syafril, hanya ini cara yang harus dilakukan agar tidak terjadi korupsi di Kementerian Sosial: hapuskan tender. Selama masih ada tender tetap saja akan ada sosok-menyogok.
Bagaimana bisa tanpa tender? Bagaimana bisa fair tanpa tender? Syafril mengatakan, kementerian harus punya rekanan untuk setiap program. Kementerian juga harus punya harga patokan untuk unit barang yang akan dibeli. Harga patokan itu didasarkan harga agen. Bukan harga pasar eceran. Dengan demikian murah sekali. Yang penting pemasok barang itu nanti sudah dapat untung.
“Lalu, tidak usah ditenderkan. Bagi saja rata ke semua rekanan. Semua rekanan mendapat pekerjaan sama,” ujar Syafril. Apakah sistem tender elektronik tidak bisa menghapuskan korupsi? ‘’Kenyataannya tetap ada korupsi,” katanya. Kelebihan cara yang ia temukan itu adalah terjadinya keadilan di kalangan pengusaha.
Dengan sistem sekarang hanya yang besar yang terus diuntungkan. Tentu cara yang ia usulkan itu tidak bisa dilaksanakan sekarang. Peraturan pengadaan yang berlaku tidak memperbolehkan. Maka Syafril mengusulkan memang harus ada perombakan besar sampai ke soal menyusun kembali peraturan.
Syafril sendiri pernah jadi pengusaha. Ia menjadi rekanan di Kementerian Sosial. Lalu di Pertamina. Tapi ia tidak pernah mau menyogok. Akhirnya sering sekali kalah. Bahkan belum lama ini ia masih juga ditawari untuk memasok kebutuhan bansos di Kemensos. Tapi Syafril menolak. “Kalau saya mau sudah ikut ditangkap KPK,” katanya.
Syafril adalah sarjana hukum dari Universitas Jayabaya. Di kampus itu pula ia meraih S-2 bidang hukum. Lalu di Jayabaya pula mengajukan disertasi doktornya itu. Sekarang ia jadi pengacara. Istrinya notaris di Serang, Banten. Ia memang taat pada agama. Pun dalam mengelola keuangan keluarga.
Keluarga ini tidak punya tabungan di bank. Alasannya: riba. Semua uangnya disimpan di kotak khusus di rumahnya di Jakarta. Tidak takut kemakan inflasi? “Sebagian disimpan dalam bentuk emas batangan. Sebagian lagi dalam bentuk dolar. Lalu ada juga dalam bentuk rupiah,” katanya. Hampir semua transaksi ia lakukan dengan cash. Ia perlu menyimpan dolar untuk jaga-jaga perlu uang kontan mendadak. Bisa ditukar ke rupiah dengan mudah.
Bagaimana kalau harus isi pulsa dan beli token listrik? Yang hanya menerima dari transfer bank?
“Kami punya tabungan kecil di bank,” ujar sang istri menimpali. “Lho kan riba juga,” sela saya.
“Tabungan kami kecil sekali. Cukup untuk beli makanan lewat online, beli pulsa, dan listrik,” kata Syafril. “Biar kecil kan riba juga,” sela saya. “Oh, begini,” jawabnya. “Misalnya saya menabung Rp 10 juta. Saya tidak pernah berharap bunga. Di hati saya tetap bahwa uang saya di bank Rp 10 juta,” katanya. “Kan secara otomatis bank memberi bunga. Yang otomatis pula masuk ke tabungan,” kata saya. “Saya sudah hitung, nilai tabungan saya itu terbatas. Kalau pun dapat bunganya, bunga itu habis untuk uang administrasi bank,” jawabnya. Hujan tidak berhenti. Rombongan itu tahu. Bahwa saya harus berangkat tidur pada jam seperti itu. (*)