Jakarta – Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas-Feri Amsari mengkritisi penolakan revisi UU Pemilu dan Pilkada. Ia menilai janggal. Penilaiannya didasari pernyataan Mensesneg Pratikno. Bahwa pemerintah tidak menginginkan revisi dua UU yang masuk Program Legislasi Nasional 2020.
“Pemerintah memang agak buru-buru dan sangat janggal. Karena rapat-rapat pembahasan tentang RUU Pemilu dan Pilkada ini, sudah cukup panjang dan alot dilakukan DPR sebelumnya. Bahkan sudah masuk ke dalam Prolegnas 2020. Tiba-tiba dibatalkan. Jadi agak janggal,” ujarnya.
Feri mengingatkan pemerintah dan DPR soal risiko yang harus ditanggung jika tidak direvisi. Pelaksanaan Pemilu 2024 yang menyerentakkan pemilihan presiden dan legislatif dengan kepala daerah, akan mengakibatkan kepadatan jadwal serta mempersulit pengawasan.
“Besarnya penyelenggaraan, bukan tidak mungkin sulit melakukan pengawasan. Publik sulit terlibat. Sehingga bukan tidak mungkin proses kecurangan menjadi membesar,” ulasnya.
Ia juga menyoroti potensi kekisruhan pada teknis pelaksanaan Pemilu 2024. Gara-gara pemilihan serentak itu. Bukan tidak mungkin, banyak petugas pemilihan yang tewas seperti Pemilu 2019.
“Kalau lima kotak saja (Pilpres, DPR, DPRD provinsi, DPRD kab/kota, DPD) sudah banyak korban nyawa. Bayangkan kalau seluruh kotak betul-betul disatukan dalam satu pemilihan,” katanya.
Ia meyakini, revisi akan meningkatkan kualitas pesta demokrasi 2024. “Kualitas pemilu bisa dijaga dengan melakukan perbaikan UU pemilu dan pilkada secara jernih sesuai dengan konstitusi,” lanjutnya.
Pihaknya juga mengingatkan KPU. Agar mendorong pemerintah dan DPR merevisi. Sebab, KPU yang akan jadi pelaksana kedua UU itu. “Tidak ada salahnya KPU mengingatkan beban yang mereka pikul itu berat dan Mensesneg tidak merasakan beban itu,” lanjut Feri. (jan/jpn)