“Saudara dipilih, bukan di lotre, miski kami tak kenal siapa saudara. Kami tak sudi memilih para juara, juara diam, juara ha-ha-ha”. Demikian lirik lagu Iwan Fals yang berjudul “Surat Buat Wakil Rakyat”.
Penggalan lirik lagu tersebut setidaknya memberikan pesan atau harapan rakyat agar para wakilnya bekerja sesuai dengan tugasnya. Tentu lagu tersebut hanya menyentil DPR sebagai representasi rakyat, akan tetapi juga menyentil presiden dan para pembantu presiden (menteri) untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan benar dan memihak rakyat.
Pertanyaan selanjutnya, apakah wakil rakyat, para pejabat Negara sebagai sebagai subjek hukum yang dipercaya oleh rakyat untuk mengelola Negara tersebut menjalankan tugasnya dengan benar ?
Mari kita simak data berikut ini. Data KPK per Oktober 2020 tidak kurang dari 143 kepala daerah, terdiri atas 21 gubernur serta 122 bupati dan walikota yang telah didakwa oleh KPK.
Dalam situasi pendemi pun, masih ada pejabat Negara yang ingin dicap sebagai raja tega untuk melukai hati rakyat. Misalkan OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur, Ismunandar dan Ketua DPRD Kutai Timur Encek UR Firsagih ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di hotel yang ada di Jakarta.
Selain itu, luka rakyat yang belum sembuh tersebut semakin menggangga ketika KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap menteri sosial Juliari Batubara yang diduga melakukan korupsi dana bansos covid-19.
KPK menetapkan Menteri sosial Juliari Batubara dan dua pejabat kementerian sosial dengan diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan modus menerima suap bansos covid-19. Menteri sosial, Juliari, Adi Wahyono dan Matheus Joko selaku Pejabat Pembuat Komitmen Kementerian Sosial diduga menerima komisi Rp 10 ribu dari setiap paket bantuan sosial bahan kebutuhan pokok yang disebar di Jakarta, Depok, Tangerang dan Bekasi. Proyek penunjukan langsung ini senilai 6,46 triliun berupa 23,7 juta paket bahan pokok. Mereka disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 dan pasal 12 huruf (i) UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, KPK menetapkan dua orang dari pihak swasta sebagai pemberi suap bantuan sosial tersebut, yaitu AIM (Ardian I M) dan tersangka HS (Harry Sidabuke). Disangkakan dengan pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Pasca KPK melakukan rekontruksi ulang kasus korupsi bansos ini, terungkap ada keterlibatan Politisi PDIP, yakni Herman Hery dan Ihsan Yunus. Herman Hery melalui perusahaan diduga mendapat jatah 7,6 juta paket senilai 2,1 Triliun, caranya dengan menggunakan perusahaan orang lain (jasa perantara), dengan cara melobi kementerian sosial. Kemudian, jasa perantara ini menekan kerjasama dengan PT. Dwimukti Graha Elektrindo, perusahaan yang dikelola oleh istri herman herri dan anaknya. PT Dwimukti ini kemudian menyediakan semua bantuan yang dibutuhkan perusahaan saat mengelola proyek bansos.
Sedangkan untuk Ihsan Yunus, Wakil Ketua Komisi Sosial DPR, yang kemudian oleh PDIP dirotasi ke Komisi II, Ihsan Yunus, dalam gelar perkara yang dilakukan oleh KPK diduga ikut terlibat dalam kasus bantuan sosial paket bantuan sosial tersebut, ia diduga bersama-sama dengan adiknya dan orang kepercayaannya telah mengatur korupsi dana bantuan sosial ini, dengan cara mengarahkan perusahaan yang berafiliasi dengan Ihsan Yunus menang dalam pengadaan paket bansos.
Hal diatas masih dalam dugaan-dugaan, tentu tugas Komisi Pemberatasan Korupsi untuk membuktikannya. Dengan memperhatikan asas ukum “Praduga tak bersalah” apabila semua kejadian diatas terbukti dipengadilan, betapa korupsi, kolusi dan nepotisme telah terjadi sempurna diantara penguasa, legislator DPR, elit politik dan swasta.
Kasus korupsi bansos ini bukan semata upaya swasta melakukan suap pejabat negara demi keuntungan diri, tetapi berselimut kolusi dan nepotisme antara eksekutif dan legislatif dan partai politik. Rumus korupsi Robert Klitgaard seakan dipraktekkan dengan sempurna, yakni rumus C=M+D-A. Didasarkkan pada rumus tersebut, praktik korupsi terjadi akibat kekuasaan terpusat berkadar tinggi (monopoli), ditambah adanya keleluasaan sangat besar dalam pembuatan keputusan (diskresi), sedangkan dalam proses menjalankan keputusan tersebut minus tanggung jawab terhadap rakyat (akuntabilitas).
Pepatah “Sudah jatuh dan tertimpa tangga” nyata dirasakan oleh rakyat Indonesia yang serba sulit akibat pandemi. Selain dipertontonkan perilaku yang bejat oleh penguasa, rakyat dipertontonkan dengan lemahnya semangat Negara dalam mewujudkan Negara yang bebas korupsi. Hasil indeks persepsi korupsi yang merosot dari skor 40 menjadi skor 37 pada tahun 2020. Dari data yang dirilis oleh Transparansi Internasional Indonesia pada tahun 2019, Indonesia ada di peringkat 85 dari 180 negara. Sedangkan untuk tahun 2020 ini bertenger di peringkat 102 dari 180 Negara. Semakin tinggi skor Indeks Persepsi Korupsi suatu Negara, maka Negara tersebut dipersepsikan semakin bersih dari korupsi. Sebaliknya, semakin rendah IPK suatu Negara, maka dipersepsikan bahwa Negara tersebut semakin merajalela praktik korupsinya.
Tentu kemerosotan IPK tersebut bukan hanya sekedar angka, tetapi ini mencerminkan adanya penurunan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, yang seharusnya korupsi dilawan dengan perlawanan yang luar biasa, pasca revisi UU KPK yang dinilai publik seakan Negara dalam melawan korupsi ini dengan cara yang biasa, hal ini dapat dilihat dari perubahan status KPK sebagai lembaga independen, pengkerdilan kewenangan KPK dan membentuk Dewan Pengawas yang sebenarnya bukan suatu hal yang penting.
Karena itu, Indonesia dapat dikatakan telah darurat korupsi. Apa yang harus dilakukan ? Memberantas korupsi tak bisa dengan sikap biasa. Korupsi yang katanya “Ekstra Ordinary Crime” harus diberantas tak hanya dengan hukum konvensional, tetapi juga perlu keberpihakan Presiden dalam merumuskan terobosan kebijakan dan tindakan politik. Tidak cukup dengan presiden yang hanya memperlihatkan Political Will. Presiden tidak cukup dengan berbicara dengan normatif dan hanya terkesan gimik saja dalam pemberantasan korupsi, bertahan dengan perkataan “Menyerahkan pada proses hukum atau Presumption of innocent”. Sebaliknya mengeluarkan Perpu yang mengadopsi UU KPK yang lebih keras, menambal sulam celah mana yang harus dikuatkan sehingga ini membangun kembali KPK lebih mandiri, independen dan efektif memberantas korupsi.
Penulis : Ibnu Syamsu (Penggiat Korupsi, Badan Pekerja Malang Corruption Watch)