
Dr Lucky Endrawati SH MH CLA, dosen FH UB. (ist)
Malang – Awal tahun 2021 dunia hukum digebrak dengan keluarnya PP Nomor 70 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak.
Hal itu tak lepas dari pencermatan pakar hukum Dr Lucky Endrawati SH MH. Dosen Universitas Brawijaya ini menyoroti dari profesionalitas tenaga kesehatan.
“Pertanyaan yang menyertai adalah, beranikah tenaga kesehatan melaksanakan PP 70/2020 ini? Mengingat tenaga kesehatan terikat dengan lembaga profesi yang menaunginya. Dalam hal ini kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur profesi mereka,” ujar Lucky Endrawati.
Dia melanjutkan. Bahwa, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang melingkupi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan pendukungnya.
Seperti UU Praktek Kedokteran, UU Kesehatan, UU Tenaga Kesehatan dan UU Rumah Sakit. Belum lagi ada Kode Etik Kedokteran. Semuanya mengatur standar perilaku dokter dalam melaksanakan kewajibannya
Dalam ketiga peraturan tersebut. Terdapat para pihak yang menjadi subyek dalam pelaksanaan upaya dan pelayanan kesehatan. Adalah tenaga kesehatan dan pasien. Serta tempat pelayanan kesehatan.
Merujuk para pihak inilah, yang kemudian patut juga untuk dipertanyakan. Apakah status terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat berubah menjadi pasien? Agar tenaga kesehatan dapat menjadi eksekutor kebiri.
Ataukah tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan PP ini, dapat dikategorikan sebagai penghalang pelaksana dari sebuah UU atau yang disebut sebagai Obstruction of Justice?
Hal inilah yang kemudian menjadi polemik. Siapakah pihak yang berani menjadi eksekutor Perppu Kebiri dan PP Kebiri ini? Belum lagi ketika seorang dokter seharusnya mengemban tugas sebagai Sang Pengobat, bukan sebagai Sang Pengebiri.
Kodeki (Kode Etik Kedokteran Indonesia) pada Pasal 5 mengatur: Bahwa tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut
Dalam Penjelasan Pasal 5 Kodeki dijelaskan: Bahwa pada diri pasien sebagai manusia, kaitan badan/tubuh dan jiwa/mental tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Melemahkan daya tahan psikis dan fisik adalah bertentangan dengan fitrah/tugas ilmu kedokteran.
Karena hal itu jika dibiarkan, justru akan membahayakan nyawa atau memperberat penderitaannya. Selain itu, dalam Pasal 11 Kodeki dijelaskan: Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi hidup makhluk insani.
Dalam Penjelasan Pasal 11 Kodeki disampaikan: Bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala kemampuannya. Untuk memelihara kehidupan alamiah pasiennya dan tidak untuk mengakhirinya.
Nah coba kita lihat dan perhatikan. Isi dari Pasal 1 butir 2 sebagai berikut.
Tindakan Kebiri Kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.
Perlu untuk diperhatikan. Bahwa untuk melaksanakan tindakan kebiri sebagaimana ditentukan oleh Pasal 6 PP ini. Haruslah melalui tiga tahapan.
Yakni, penilaian klinis, kesimpulan dan pelaksanaan. Dimana ketiga tahapan tersebut juga melibatkan tenaga kesehatan.
Memperhatikan analisis sederhana tersebut, Lucky Endrawati menyatakan, dapatlah disimpulkan bahwa penegakan hukum pelaku kekerasan seksual terhadap anak masih carut marut.
Karena pada tataran substansi peraturan perundang-undangan menimbulkan ketidak konsistenan pelaksanaan. Dan tidak melalui manajemen penyelesaian kasus yang komprehensif.
“Dalam hal pencegahan, penanganan, pengawasan dan pemulihan yang berdampak pada semakin menjauhnya rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dalam masyarakat,” pungkasnya. (roz/jan)