Malang – Tingginya harga kedelai yang mencapai Rp 9.500 per kg juga berdampak kepada produsen tahu. Kondisi ini benar-benar membuatnya kelimpungan.
Sala satu pengusaha tahu asal Kota Batu, Muhammad Nasih, menjelaskan untuk menyiasati mahalnya harga kedelai, dia telah mengubah ukuran tahu produksinya. Ketika dalam kondisi normal, ketebalannya mencapai 4 cm. “Namun untuk kondisi seperti saat ini, ketebalannya dikurangi tinggal menjadi 3,5 cm – 3 cm saja,” ujar Nasih.
Selain itu, kata dia, harga tahu juga dinaikkan. Namun, untuk kenaikannya masih sangat tipis. Yakni di kisaran Rp 100 – Rp 200 rupiah per kotaknya.
Dampak lainnya, produksi diturunkan. “Biasanya dalam satu hari kami bisa produksi 4-6 kwintal kedelai. Saat ini hanya sekitar 2-3 kwintal kedelai. Apalagi, untuk saat ini permintaan pasar juga sedang menurun ” beber dia.
Pria yang telah memproduksi tahu sejak tahun 1992 itu juga mengatakan, bahwa saat ini omset yang didapatkannya juga turut menurun. Biasanya pendapatan kotor dia mencapai Rp 4 juta per hari, kini tinggal Rp 1,5 juta per hari.
Selama ini Nasih menggunakan kedelai impor dari AS yang diambil langsung dari Pasuruan. “Sebenarnya kedelai untuk pembuatan tahu lebih baik menggunakan kedelai lokal. Ukurannya kecil-kecil tetapi kualitasnya bagus,” ujarnya.
Namun, kedelai lokal harganya masih lumayan tinggi. Selain itu, kedelainya juga banyak sekali tercampur dengan batu-batu kecil dan kulit kedelai, sehingga jika ditimbang bobotnya juga sudah tidak sesuai.
Dampak meroketnya harga kedelai impor juga dirasakan pengusaha tahu di Desa Putat Kidul, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, Sumarmi. Untuk mengatasi kondisi saat ini, dia lebih memilih mengurangi ukuran tahu produksinya. Itu dilakukan untuk menekan biaya produksi yang secara tidak langsung turut naik.
Dalam sehari, Sumarmi membutuhkan 75 kilogram kedelai impor untuk diolah menjadi tahu. Saat ini per karung kedelai dengan berat 50 kilogram harganya Rp 500 ribu. Harga sebelumnya hanya Rp 300 ribu.
Menurut Sumarmi, secara tidak langsung hal itu juga berdampak pada penjualannya. Dia tidak menaikan harga jual, sebab khawatir berdampak pada tingkat penjualan. “Kadang ada pelanggan yang komplain, mengapa tahunya jadi lebih kecil,” imbuh wanita berusia 45 tahun ini.
Untuk harga jual, tahu produksi Sumarmi dibanderol Rp 3.000 hingga Rp 5.000 per 10 biji. Ada dua tahu yang dia produksi, yakni tahu gembos dan tahu bentet. “Kalau diitung untung rugi, ya mungkin ada ruginya. Tetapi alhamdulillah hingga saat ini pembeli masih tetap. Karena juga ada yang langganan,” terang dia. Biasanya, Sumarmi menjual tahunya di Pasar Gondanglegi dan Pasar Kebalen di Kota Malang.
Kondisi serupa juga dilakukan Feri Gunawan, pengusaha tahu Sukun, Kota Malang. Menurutnya, penurunan permintaan pasar sebenarnya jauh sebelum harga kedelai meroket. Yaitu, sejak pandemi Covid-19 merebak. “Pandemi dan PSBB yang diberlakukan di Kota Malang membuat omset penjualan tahu kami turun di kisaran 60 persen,” ujarnya.
Feri Gunawan juga menyinggung kebiasaan orang-orang dulu jika makan paling sederhana dan nikmat adalah dengan tahu dan tempe. Tetapi dengan lebih mahalnya begini, orang sekarang lebih memilih makan ikan, telur, dan lainnya.(DMP)