Malang – Hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak menjadi perhatian masyarakat. Apalagi, Presiden RI Joko Widodo setuju dan telah meneken PP No 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas.
Sebenarnya seperti apa kebiri itu. Menurut Dokter Spesialis Urologi RSU Karsa Husada, Kota Batu, dr Septina Rahayu, pada umumnya terdapat dua jenis dalam melakukan kebiri. Yakni kebiri fisik dan kebiri kimiawi.
“Kebiri fisik dilakukan dengan cara melakukan amputasi pada organ seks eksternal. Dengan dilakukannya hal itu akan membuat seseorang tadi menjadi berkurang hormon testosteronnya. Dampaknya, dorongan seksual akan berkurang,” bebernya.
Selain itu, kebiri fisik juga akan bersifat lebih merusak. Karena, dengan kebiri jenis ini, jaringan testis yang ada di dalam tubuh manusia akan diambil.
Sementara itu, lanjut dia, kebiri kimia dilakukan dengan cara memasukkan zat-zat kimia ke dalam tubuh seseorang. Tujuannya untuk mengurangi produksi hormon testosteron. Efek sampingnya bisa merusak secara permanen dan temporer.
“Kebiri kimia berasal dari kata obat yang bersifat anti-hormon testosteron. Lewat obat ini, orang yang disuntik tadi dapat kehilangan dorongan seksualnya. Orang itu tidak memiliki keinginan dan tidak mampu melakukannya lagi,” jelas dia.
Meski begitu, lanjut Septi, dorongan seksual itu sebenarnya tak hanya dipengaruhi oleh hormon testosteron saja. Namun, ada faktor lain yang mendorongnya. Yakni pengalaman seksual sebelumnya dan faktor psikologis soal fungsi seksual.
“Maka dari itu, walau sudah diberikan obat anti-testosteron. Keinginan melakukan hubungan seksual belum tentu akan hilang sepenuhnya,” ungkapnya.
Dijelaskan dia, testosteron sendiri merupakan hormon yang ada di dalam tubuh manusia. Memiliki fungsi pada kondisi seksualitas. Untuk pria, hormon ini berfungsi untuk membangkitkan libido. “Jadi, jika hormon itu dikurangi, maka gairah seksnya juga akan turut berkurang,” papar Septi.
Selain itu, kata dia, pemberian obat kimia itu juga akan menimbulkan efek samping. Namun, efek samping yang akan timbul itu tergantung dari masing-masing zat yang akan disuntikkan. Yang jelas, tegas dia, efek samping adalah salah satu efek yang tak diharapkan.
“Karena ini konteks umum untuk kebiri, jadi yang jelas efek samping secara umum adalah menurunnya hormon testosteron, menurunnya produksi sperma, serta menurunkan libido,” beber Septi.
Selain itu kebiri kimiawi juga bisa menyebabkan sang pengguna mengalami ketidaksuburan. Menurutnya, seorang pria yang diberi zat-zat kimia itu tadi memiliki potensi mengalami kemandulan atau infertil. Karena dimungkinkan mereka tak memiliki sel spermatozoa.
“Berbeda dengan kebiri fisik, kebiri kimiawi tidak bersifat permanen. Artinya, jika pemberian zat kimia itu tadi dihentikan, maka efeknya juga akan berhenti. Predator tadi akan mendapatkan lagi fungsi seksualnya, baik berupa hasrat seksual, maupun kemampuan ereksi,” ungkapnya.
Biasanya dalam dunia kedokteran zat kimia itu biasa digunakan untuk terapi penyembuhan. Yang mana hanya akan bertahan paling lama selama tiga bulan saja. Harganya di kisaran Rp 3 juta.
“Namun untuk zat kimia yang akan digunakan oleh pemerintah yang mana kami belum mengetahui. Karena banyak sekali zat kimia yang dapat digunakan serta memiliki jangka waktu yang berbeda-beda,” jelasnya.
Lanjut dia, dengan adanya PP itu, tentunya zak kimia itu hanya boleh dilakukan oleh para ahli yang telah ditunjuk pemerintah. Tentunya, hal itu juga sudah menjadi bahan pertimbangan Presiden dan akan dikawal prosesnya. Namun, sepertinya di luar negeri menggunakan obat kimia yang temporer, bukan yang seumur hidup.(ano/ekn)
Pedo indo harus di kebiri