Malang – Kocok ulang atau reshuffle kabinet. Adalah hal biasa dalam pemerintahan. Namun, reshuffle yang dilakukan Presiden Joko Widodo kali ini, ada catatan menarik. Pradana Boy ZTF, Asisten Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, kepada DI’s Way Malang Post.
Ia mengatakan masuknya Sandiaga Uno sebagai salah satu menteri, tentu mengejutkan. Sekaligus tidak. Mengejutkan karena publik mengetahui, Sandiaga Uno adalah pasangan Prabowo Subianto. Rival Joko Widodo dalam Pemilihan Umum Presiden 2019.
Posisi itu, tentu saja secara umum menjadi berkembang. Sangat tidak mungkin, pasangan yang bersaing, kemudian bersatu dalam pemerintahan. Menjadi anggota kabinet dari calon yang menang.
Pada saat yang sama, hal ini dianggap tidak mengejutkan. Lantaran pasangan Sandiaga Uno, Prabowo Subianto, ternyata lebih dulu menjadi bagian dari Kabinet Indonesia Maju. Akan tetapi, mengiringi bergabungnya Prabowo Subianto itu. Bergabungnya Sandiaga Uno dan Prabowo, menimbulkan aneka ragam sikap di kalangan pendukung mereka.
Kenyataan itu melahirkan kesadaran, ternyata politik adalah sesuatu yang sangat cair. Batas yang menghalangi satu kelompok dengan kelompok yang lain untuk bersatu hanyalah kepentingan. Maka, ketika bahasa kepentingan mereka telah berada pada frekuensi yang sama, dengan mudah perbedaan itu lebur.
Sekadar mengingat dinamika masyarakat menjelang Pemilu Presiden 2019. Semua mengetahui, masyarakat mengalami polarisasi tajam ke dalam kelompok besar pendukung 01 dan 02. Tak hanya berhenti sebagai perbedaan sikap politik.
Jika hanya perbedaan pilihan politik, sebenarnya hal itu biasa saja. Tetapi polarisasi 01 dan 02 menjadi semakin riuh dan menegangkan. Karena melibatkan dalih agama. Pasangan calon 01 dianggap kurang mewakili aspirasi umat Islam. Betapapun di dalamnya berhimpun tokoh-tokoh Islam dari berbagai elemen.
Sebaliknya, 02 dianggap pasangan yang merepresentasi suara umat Islam. Bahkan pasangan calonnya dianggap sebagai simbol Islam. Padahal di kalangan para pengamat, muncul juga pernyataan dari mana asal-muasal Prabowo dan Sandi. Nampak sebagai wakil yang sah umat Islam itu. Mengingat hubungan keduanya dengan Islam, sebenarnya sangat sulit dipetakan. Selain, bahwa keduanya adalah muslim.
Mengikuti dinamika ini, media sosial riuh. Ada pernyataan kesadaran ada juga kekesalan dan umpatan. Saya kutipkan sebuah contoh pernyataan kesadaran itu dari sebuah group media sosial.
“Akhirnya, politik dan kuasa mengalahkan segalanya, Tiwas eyel-eyelan di akar rumput, jebule saiki dua pasang capres-cawapres wis di istana kabeh”.
“Mereka yang berada pada posisi kesadaran seperti ini, lalu berusaha menimbang ulang sikap ‘keras’ dalam memberikan dukungan politik. Rupanya, membela figur politik tertentu dengan pola hidup mati, adalah sebuah sikap yang kurang tepat. Bahwa sikap keras dalam politik, ternyata tidak menguntungkan. Karena nyatanya, mereka yang didukung dengan mudah mengabaikan dukungan itu. Dan, mengambil sikap politik yang tidak hanya berbeda, bahkan berbeda dengan harapan basis pendukung,” ujar Boy
Namun, ada juga kelompok yang tetap tidak mau terbuka terhadap realitas politik ini. Menghadapi dinamika politik yang cair. Mereka tetap bersikap beku. Untuk sederhananya, sebut saja kelompok ini sebagai ‘idealis-utopis.’
Kelompok ini memberikan dukungan kepada figur politik tertentu. Sesungguhnya terjadi bukan betul-betul karena figur tersebut sejalan dengan ideologi atau pandangan politik mereka. Tetapi karena mereka memandang bahwa figur-figur tersebut dianggap bisa dijadikan sebagai kendaraan bagi perwujudan cita-cita politik mereka sendiri.
Mari berspekulasi. Seandainya Prabowo-Sandi keluar sebagai pemenang Pilpres 2019, apakah lalu kelompok-kelompok idealis utopis ini sepenuhnya mendukung Prabowo-Sandi?
Saya meragukan hal itu. Dalam kerangka politik yang serba cair, kelompok-kelompok idealis utopis pastilah akan kecele. Manakala mendapati fakta bahwa dalam menjalankan pemerintahan. Calon yang mereka dukung itu tidak sepenuhnya bergerak pada riil yang mereka bayangkan.
Kelompok idealis utopis ini, seringkali melupakan fakta bahwa politik penuh dengan kesepakatan-kesepakatan pragmatis dan taktis. Jika itu terjadi, kekecewaan pendukung terhadap figur-figur pujaan tadi akan muncul. Bayangan ideal yang mereka harapkan pada calon tersebut ternyata tidak terjadi. Karena adanya dinamika real politik yang jauh dari jangkauan para pendukung itu.
Maka ketika Prabowo-Sandi yang mereka harapkan mampu menumbangkan pemerintahan yang diasumsikan represif terhadap Islam, ternyata justru bergabung. Maka hal itu menimbulkan tidak hanya kekecewaan akut. Tapi arus balik yang dahsyat.
Sikap kecewa itu akan mewujud. Setidaknya dalam dua hal. Yaitu memberikan label-label negatif kepada tokoh yang semula dipuja itu. Lalu, pada saat yang bersamaan, mencari figur-figur baru yang dianggap mampu mewakili kepentingan mereka yang gagal diwujudkan itu. Dalam hal ini, maka figur-figur yang kritis. Bahkan bersikap oposisional terhadap pemerintah dengan mudah menjadi idola.
Terakhir, dosen yang pernah pernah menjabat sebagai Asisten Staf Khusus Presiden RI
Bidang Keagamaan Internasional (2018-2019) ini, mengatakan: Dengan kondisi ini, maka, sejauh manakah dinamika politik yang cair ini akan mampu mencairkan juga sikap masyarakat? Ini sebuah pertanyaan yang jawaban validnya hanya bisa ditemukan dalam perjalanan waktu.
“Namun, secara umum saya meyakini. Hal ini tidak dengan serta merta mencairkan polarisasi politik dalam masyarakat. Politik yang cair, dan sikap politik masyarakat yang beku. Masih akan menjadi warna dalam panggung politik Indonesia. Dalam masa yang cukup panjang,” pungkas Boy. (roz/jan)