Batu – Sumber mata air di Kota Batu tahun 2013 terdapat 111 titik. Saat ini telah amblas. Menyisakan 51 titik. Sedangkan yang konsisten dengan debit air besar, hanya tinggal 28 titik. Ini berdasarkan data Imapala Universitas Brawijaya (UB).
Padahal sumber air di kota ini, sangat dibutuhkan 15 kab/kota di Jawa Timur. Jika sumber air terus berkurang, jelas sangat berbahaya bagi 15 daerah tersebut. Memperingati hari HAM sedunia 2020. MCW, Walhi, Nawak Alam Gemulo dan masyarakat sipil Kota Batu menggelar diskusi.
Berlangsung di kawasan Sumber Air Gemulo, Bumiaji, Kota Batu (10/12/2020). Membahas tentang perampasan lingkungan hidup di Kota Batu yang melanggar HAM. Ketua Nawak Alam Gemulo, Pradipta Indra mengatakan: Pemkot Batu harus mengacu Kepres No. 32/1990. Tentang pembangunan di sekitar sumber mata air, hanya boleh radius 200 meter dari titik sumber.
“Karena wilayah sumber mata air, merupakan wilayah konservasi. Tak boleh dibangun untuk nilai-nilai ekonomis. Apalagi tak memperhatikan faktor ekologis,” ungkap Indra kepada DI’s Way Malang Post.
Dikatakannya, Pemkot Batu harus mengacu aturan itu. Tujuannya, melindungi lingkungan hidup. Ia menilai, banyak sumber mata air hilang, karena Pemkot seperti memegang prinsip bangun dulu, izin kemudian. “Seyogyanya Pemkot Batu melakukan pengawasan, pengontrolan hingga penindakan. Bagi pelanggar yang merusak lingkungan hidup,” tegasnya.
Manager Kampanye Walhi Jatim, Wahyu Eka menjelaskan: Adalah hak azazi untuk hidup di lingkungan sehat serta kebutuhan air yang terjamin. Itu sudah dijamin UUD NKRI Tahun 1945 Pasal 28H.
“Tindakan apa saja yang melanggar undang-undang tersebut. Merupakan salah satu tindakan yang melanggar HAM. Lingkungan sehat dan air yang bersih. Adalah hak dasar manusia yang harus dipenuhi. Maka perlindungan mata air di Kota Batu harus diperketat,” tegasnya.
Perusakan lingkungan Batu, berdampak bagi Kota Malang, Kediri, Mojokerto dan semua daerah di bawahnya. Maka, urgensi melindungi sumber mata air benar-benar harus ditegakkan. Menurutnya, pemerintah pusat dan daerah, tak mengarah ke sana. Dilihat dari pembangunan Kota Batu untuk nilai ekonomis makin masif. Ditambah lagi Omnibus Law yang dinilai tidak menjamin keberlangsungan lingkungan hidup Indonesia.
“Zonasi dalam undang-undang cipta kerja, membuka gerbang eksploitasi masif. Tak transparan, hanya untuk komersil. Tanpa memperhatikan nilai ekologis,” ujarnya. Banyak frasa dalam UU yang menjebak dan membatasi. Karena dalam UU itu, pihak yang bisa protes kerusakan lingkungan hidup, hanya wilayah sekitar yang terdampak.
“Jika salah satu sumber di desa Kota Batu mati. Maka yang bisa protes hanya desa itu. Padahal yang terdampak bisa sampai Malang, Kediri dan kota laina,” tutupnya. (ant/jan)