Para tokoh, ormas, serta pengamat menyampaikan pendapatnya terkait penundaan pilkada di tengah pandemi. Namun, pemerintah bersihkukuh untuk terus menyelenggarakannya. Padahal penyelenggaraan pilkada ini membutuhkan keberanian di tengah pandemi. Karena dibutuhkan pertemuan antara petugas penyelenggara dengan masyarakat. Belum lagi kampanye, mengharuskan kontestan turun langsung ke tengah masyarakat. Kerumunan massa pun tak terhindarkan, belum lagi anggaran dana yang dikeluarkan untuk pilkada ini tidak sedikit. Anggaran pilkada mencapai Rp. 160 miliar lebih untuk tingkat provinsi, belum lagi tingkat kabupaten dan kota. Bukankah seharusnya anggaran tersebut di gunakan untuk penanganan Covid-19?
Dan yang lebih memprihatinkan saat ini, 70 orang calon kepala daerah terinfeksi Covid-19, 4 orang diantaranya meninggal dunia. 100 orang penyelenggara termasuk Ketua KPU RI terinfeksi. (kabar24bisnis.com, 28/11/2020)
Sangat besar pengorbanan untuk demokrasi. Apakah rakyat benar-benar mengorbankan nyawanya demi demokrasi? Pengamat politik, Robby Patria berpendapat pilkada ditengah pandemi jika terus dipaksakan tidak akan maksimal, sebab Negara masih fokus mengurus Covid-19. Maka tidak sedikit publik yang enggan untuk berpartisipasi dalam pilkada saat ini. Pengamat Politik Indonesia Public Institutte (IPI) Karyono Wibowo menerangkan hasil survey IPI menunjukkan bahwa mayoritas responden yakni hampir 80% menyatakan khawatir datang ke TPS. Karena takut pandemi Covid-19 sampai saat ini yang angka penularannya pun masih tinggi. (lingkarmadiun,pikiran-rakyat.com, 23/9/2020)
Rakyat terus berkorban bagi demokrasi, tapi demokrasi tak pernah melahirkan pemimpin yang amanah dan menyejahterakan rakyat, sudah berkali-kali pemilihan pemimpin dan berganti kepemimpinan, namun tak satupun yang dapat membuat rakyat aman sejahtera. Malah semakin hari semakin menambah beban bagi rakyatnya. Sungguh miris kepemimpinan demokrasi ini.
Pilkada 2020 jika tetap diselenggarakan sangat berat, sulit dan mahal. Fakta buruknya demokrasi melahirkan pemimpin negri ini yang gagal. Bahkan dengan presidential Threshold yang terus dipertahankan di negri ini. Mudah bagi siapapun yang ingin menguasai politik Indonesia, selama mereka memiliki modal atau para kapital yang menggelontorkan uang. Penguasa bisa duduk di kursi kekuasaannya dengan di danai para kapitalis. Memaksakan pilkada dengan biaya yang super mahal, ditambah dengan banyaknya kontestan yang positif terpapar Covid-19. Mustahil terjadi perubahan Indonesia lebih baik lagi, jika dari proses awalnya saja banyak merugikan rakyat. Pemimpin di system demokrasi yang tidak jelas, bisa siapapun yang menjadi pemimpin asal dia punya modal.
Berbeda halnya dengan kepemimpinan dalam Islam Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham al-Hukm fii al-Islam menyebutkan syarat-syarat syar’i yang wajib ada pada seorang pemimpin yaitu, Muslim, laki-laki, dewasa, berakal, adil, merdeka, mampu melaksanakan amanah Kekhilafahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. selain itu seorang pemimpin dalam Islam juga harus memiliki beberapa karakter yaitu, pertama berkepribadian kuat, kedua bertakwa. Sulaiman bin Buraidah, dari bapaknya, menuturkan, “Rasulullah SAW. jika mengangkat seorang pemimpin pasukan atau suatu ekspedidi pasukan khusus, senantiasa mewasiatkan takwa kepada dirinya.” (HR.Muslim)
Ketiga, memiliki sifat welas kasih. Sikap yang lembut dan bijak yang tidak menyulitkan rakyatnya. Keempat, penuh perhatian kepada rakyatnya. Kelima, istiqomah memerintah dengan syariah.
Jika semua karakter iti terpenuhi, maka akan terwujud pemimpin yang mengayomi rakyat, mensejahterakan rakyat. Pemimpin mencintai rakyatnya, begitu juga sebaliknya, rakyat akan mencintai pemimpinnya.
Penulis : Resti Ayu Pratiwi ( Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM))