*Dr Lucky Endrawati SH MH CLA, dosen FH UB
Bancakan sosial, adalah gambaran betapa mudahnya mendapatkan bansos (bantuan sosial). Seiring belum pastinya kapan berakhir pandemi Covid-19. Menjelang penghujung 2020 ini, masyarakat disuguhi pentas korupsi bansos di Kemensos.
Belum berakhir pula pentas korupsi benur di KKP. Kini lakon drakor (drama korupsi) mengambil episode lanjutan. Paket sembako bansos. Ini tak lepas dari pengamatan Dr Lucky Endrawati SH MH CLA, dosen di Departemen Hukum Pidana FH Universitas Brawijaya.
“Seringnya OTT KPK yang menyasar beberapa kementrian, mengingatkan saya. Pada sebuah peristiwa beberapa tahun lalu di sebuah kantin kementrian. Saya melihat dan mendengar sendiri beberapa orang yang membicarakan sebuah ‘proyek’. Dengan lugasnya, seolah mereka seorang sutradara yang membagi-bagi peran. Siapa melakukan apa. Sungguh ironis. Ketika masih ada sebagian masyarakat kesulitan memikirkan apa yang bisa dilakukan esok untuk menghidupi anggota keluarganya,” ujarnya.
“Kita melihat adanya sebuah peristiwa hukum pidana. Dimana dalam hukum pidana yang menjadi obyek penanganannya adalah, perbuatan materiil. Yakni perbuatan pidana yang terjadi pada saat itu. Sebuah perbuatan masuk sebagai kategori perbuatan pidana, apabila memenuhi beberapa unsur. Diantaranya, kesalahan. Adanya sifat melawan hukum dan adanya pertanggungjawaban pidana dari pelaku,” lanjut Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) FHUB.
Dalam hukum pidana, berlaku asas legalitas. Dimana perbuatan orang tidak dapat dipidana apabila tidak ada aturan yang mengaturnya. Selain ketiga unsur di atas, maka unsur perbuatan seseorang yang harus diatur oleh hukum pidana positif mutlak diperlukan. Jika sebuah peristiwa disebut sebagai persitiwa atau perbuatan Pidana.
Penegakan pidana tidak terlepas dari tiga unsur: substansi, stuktur dan budaya. Ketiganya saling terkait. Saling berperan. Ketika penegakan hukum tipikor berkontribusi pada sistem peradilan pidana. OTT Mensos, kiranya lebih menarik ditinjau dari aspek substansi.
Yakni pemberlakuan UU nomer 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU nomer 20/2001 tentang Perubahan atas UU nomer 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut dengan UU Tipikor.
Pada Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Sedangkan Ayat (2) menyebutkan dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor disebutkan tentang kualifikasi keadaan tertentu. Ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tipikor. Apabila dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya. Sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Pada waktu terjadi bencana alam nasional. Sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Pertanyaan adalah: Apakah kondisi pandemi covid-19 dapat dikategorikan sebagai keadaan tertentu sehingga pelaku dapat dijatuhi pidana mati?
Melihat perbuatan materiil saat OTT, perbuatan pelaku patut diduga memenuhi unsur Pasal 12 (A) atau Pasal 12 (B) atau Pasal 11 dan Pasal 12 (I) UU Tipikor. Kualifikasi peran setiap pelaku dapat dikenakan Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Pemberlakuan pasal-pasal tersebut seringkali terjadi dan menjadi lazim ketika masyarakat mendengar OTT KPK.
Beranikah KPK menerapkan Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor? Pembuat UU ini, memberikan kualifikasi keadaan tertentu pada empat kriteria.
Pertama, keadaan bahaya menurut UU. Kedua, bencana alam nasional. Ketiga, pengulangan tipikor. Kempat saat negara berada dalam keadaan krismon atau moneter.
Kriteria itu, bersifat alternatif. Artinya, jika satu unsur terpenuhi, dapat menjadi pemberat dalam penjatuhan putusan hakim.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 27 Tahun 1997 Tentang Mobilisasi dan Demobilisasi, disebutkan:
Keadaan bahaya adalah suatu keadaan yang dapat menimbulkan ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Serta kelangsungan hidup bangsa dan Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-undang Keadaan Bahaya. (roz/jan/bersambung)