Sebelum kasus penangkapan terhadap Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap izin pembangunan Rumah Sakit Umum Kasih Bunda pada Jumat (27/11/20). KPK telah menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait izin ekspor benih lobster. Edhy ditetapkan sebagai tersangka setelah terjaring operasi tangkap tangan di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) saat kembali dari Honolulu, Hawai, Amerika Serikat pada Rabu (25/11/2020) lalu.
Dilansir dari Kompas.com selain Edhy Prabowo terdapat nama-nama yang juga ikut tertangkap dalam Operasi Tangkap Tangan ini seperti staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri, staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Andreau Pribadi Misata, staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih, serta seorang bernama Amiril Mukminin. Mereka ditetapkan sebagai penerima suap. Serta Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito sebagai pihak pemberi suap.
Kasus ini dimulai sejak kebijakan yang dibuat oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo periode 2019-2020 yang mengizinkan untuk menangkap dan memperjualbelikan Benih Lobster termasuk mengekspornya. Padahal Susy Pudjiastuti selaku KKP periode sebelumnya membuat kebijakan yang termuat dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 56 Tahun 2016 menetapkan Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Benih Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia. Sehingga kebijakan ini membuat masyarakat Indonesia bertanya-tanya mengapa hal itu dilakukan?
Lagi-lagi kesejahteraan rakyat yang menjadi alasan kebijakan ekspor Benih lobster ini dilakukan. Dilansir dari kompas, Edhy Prabowo beranggapan bahwa ada banyak orang yang dibuat kelaparan akibat diberlakukannya larangan ini. Dalam pernyataannya terkait hal ini, Edhy bersikeras membuka keran ekspor benih lobster lantaran semangat regulasi lobster adalah untuk menghidupkan kembali usaha nelayan dari Sabang sampai Merauke yang sempat mati. Untuk memuluskan kebijakannya ini Edhy pun membuat Permen yang berisikan tentang ketentuan diperbolehkannya ekspor dan budidaya benih lobster. Mulai dari soal kuota hingga lokasi penangkapan benih lobster.
Sebut saja kebijakan ini merupakan kebijakan tambal sulam. Bagaimana tidak? Ternyata setelah dilihat dan dikaji menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim dalam Kompas (26/11/20), kebijakan ini akan menimbulkan masalah baru yaitu kemiskinan di tingkat pembudidaya lobster maupun persoalan lainnya akibat dari harga benih lobster di dalam negeri yang melambung tinggi karena jumlah yang terbatas dan bukan tidak mungkin negara kita juga akan kehabisan stok lobster dan ujung-ujungnya kita akan mengimpor lobster dari tempat tujuan ekspor tadi.
Kebijakan Kementrian KKP yang hanya fokus pada regulasi benih lobster saja dan tidak pada bidang lain semisal bagaimana memberdayakan petaninya agar bisa membudidayakan lobster sendiri mulai dari benih hingga dapat diperjualbelikan dalam ukuran besar. Karena lobster dewasa sendiri harganya lebih mahal berkali-kali lipat dibanding benih lobster. Ternyata ditemukan peluang korup dibalik kebijakan ini. Ya, diketahui bahwa terdapat monopoli pengiriman benih lobster yang hanya bisa dilakukan oleh PT ACK dengan biaya angkut Rp1800,-per ekor yang merupakan kesepakatan antara Amirul Mukminin selaku swasta dan stafsus KKP.
Kebijakan yang berubah-ubah tergantung siapa yang menjabat. Kebijakan dibuat untuk mendulang materi pribadi. Tidak peduli apakah itu akan merugikan rakyat maupun negaranya. Serakah itulah sifatnya namun itu hanya salah satu faktor kenapa hal ini bisa terjadi. Tidak bisa dipungkiri bahwa sistem yang diterapkan oleh negara kita merupakan akar masalahnya. Sistem ekonomi kapitalis yang menerapkan prinsip kebebasan dalam hal kepemilikan. Dimana setiap individu berhak untuk memiliki sumber daya baik alam maupun manusia, selama dia punya kekuasaan dan harta tidak peduli apakah sumber daya alam yang dikuasai merupakan milik umum atau tidak. Jadi tidak heran apabila ekonomi negara kia dikuasai dan dikendalikan oleh para kapitalis atau pengusaha-pengusaha besar dan para pemegang kekuasaan.
Lain halnya dengan sistem Islam, kebijakan dibuat bukan berdasarkan dari akal manusia yang terbatas yang bisa berubah-ubah sesuai kemauan dan jaman. Namun dalam Islam kebijakan dibuat bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits yang tidak pernah berubah. Kasus seperti ini tidak akan pernah bisa diselesaikan tanpa adanya campur tangan negara. Oleh karena itu, penanganan permasalahan ini bersifat sentralistik yaitu perusahaan atau warga negara Islam (khilafah) tidak boleh melakukan perdagangan ekspor-impor segala jenis komoditas baik darat maupun laut secara langsung tanpa seijin negara maka bisa dipastikan mustahil akan terjadi monopoli perdagangan.
Kemudian bagaimana sih khilafah menyejahterakan warganya khususnya nelayan dan petani? Pengaturan pertanian wajib berada dalam tanggung jawab negara/khilafah mulai dari hulu hingga hilir. Hubungan negara dengan rakyat bukan hubungan antara pemilik modal dan pekerja. Sebab negara/pemerintah adalah raain dan junnah bagi rakyat. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang berbunyi: “Imam (khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad dan Bukhari)
Pengaturan pertanian Islam oleh negara ini akan mewujudkan dua hal sekaligus yaitu ketahanan pangan dan kesejahteraan petani maupun nelayan. Negara akan memberikan bantuan kepada petani maupun nelayan seperti saprodi, infrastruktur penunjang, modal, teknologi, dsb. Untuk memaksimalkan pengelolaan lahan dan pembudidayaan ikan. Bantuan ini (Islam) bisa bersifat gratis, nonribawi, serta ditujukan kepada semua petani dan nelayan yang membutuhkan. Semua kebutuhan anggaran ditopang penuh oleh baitulmal khilafah.
Untuk menjamin hal ini, pemerintahan khilafah harus hadir dalam bentuk pengawasan. Kebijakan khilafah dalam hal ini adalah dengan tidak melakukan penetapan harga, melakukan operasi pasar syar’i, dan menghilangkan berbagai pungutan pajak barang. Politik ekonomi Islam yang sahih, yang dijalankan oleh pemerintahan yang amanah dan sebagai pelayan serta pelindung rakyat, menjadi jaminan bagi berjalannya sektor pertanian dan pangan dengan dinamis dan terus tumbuh.
Wallaahu a’lam bishshawaab
Penulis : Nurwahdaniati, Mahasiswi jurusan Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)