Pada rapat pleno Baleg DPR RI (24/11) terdapat 5 fraksi yang menolak melanjutkan pembahasan RUU Ketahanan Keluarga. Kelima fraksi tersebut adalah PDIP, PKB, Demokrat, Nasdem, dan Golkar. Sedangkan 4 fraksi lainnya tetap mempertahankan RUU tersebut, yakni fraksi PKS, Gerindra, PAN dan PPP.
Penolakan terhadap RUU Ketahanan Keluarga ini didasarkan kepada adanya anggapan negara terlalu jauh mencampuri ranah privasi keluarga. Sejauh mana relasi di antara pasutri dengan anggota keluarga yang lain itu sepenuhnya dipandang sebagai urusan privat. Hal ini bisa dilihat di antaranya dari pasal 74, 82 dan 86.
Pasal 74 menekankan kewajiban pemerintah menangani kerentanan keluarga, salah satunya penyimpangan seksual. Di Pasal 82 terdapat badan negara yang khusus dalam ketahanan keluarga. Di pasal 86 dijelaskan fungsi Badan Ketahanan Keluarga.
Bahkan disinyalir dari ketiga pasal tersebut rentan terjadinya kebocoran data. Justru hal tersebut dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.
Komnas Perempuan dalam press releasenya memandang tidak perlu adanya RUU Ketahanan Keluarga. Komnas Perempuan lebih memfokuskan pada letak esensi dari RUU tersebut. Mendesak menurut Komnas Perempuan agar memahami dengan utuh konsep kesetaraan gender dengan baik. Riilnya pemerintah diminta untuk fokus membahas hal yang mendesak seperti RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual).
Jadi usulan RUU Ketahanan Keluarga ini dipandang hanya akan tumpang tindih dengan UU Perkawinan dan RUU PKS. Apalagi di dalam RUU Ketahanan Keluarga terdapat pasal yang mengatur terkait orientasi seksual. Pasal 26, 31 dan 32 di dalamnya mengatur tentang penggunaan teknologi reproduksi, larangan donor sperma dan ovum serta surogasi (sewa rahim). Bahkan juga dicantumkan sangsi bagi pelakunya. Tidak aneh bila dipandang RUU Ketahanan Keluarga tidak urgen. Bukankah terkait orientasi seksual sudah diatur dalam RUU PKS?
Ditambah lagi ada kesan bahwa RUU Ketahanan Keluarga ini menjadi upaya domestikasi peran perempuan. Indikasinya di pasal 25 yang menyatakan kewajiban istri adalah mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
Mirisnya lagi, disinyalir juga menyeragamkan keluarga di negeri ini atas dasar falsafah keyakinan tertentu. Padahal setiap orang pastinya menginginkan terwujudnya keluarga yang harmonis, penuh Cinta kasih. Mestinya persoalannya bukan pada falsafah keyakinan apa yang dipakai sehingga timbul sikap menjaga jarak. Akan tetapi mestinya lebih fokus pada falsafah keyakinan manakah yang mampu menjamin ketahanan keluarga, tanpa berpikir secara subjektif yang hanya menimbulkan sikap apriori.
Keluarga adalah institusi terkecil dalam masyarakat. Keluarga memegang peranan penting dalam mencetak generasi penerus suatu bangsa. Corak keluarga tentu akan mempengaruhi corak generasi yang dihasilkan. Oleh karena itu menjadi kewajiban negara untuk menjaga institusi keluarga.
Berbicara tentang keluarga tentunya tidak bisa terlepas membicarakan model pergaulan antara dua lawan jenis, baik sebelum maupun sesudah menikah. Artinya membangun keluarga diawali dari pondasinya.
Sesungguhnya hukum asal dari kehidupan laki-laki dan perempuan itu terpisah. Keduanya boleh berinteraksi dalam hal-hal yang dibutuhkan untuk kemaslahatan masyarakat, seperti dalam pendidikan, persaksian, sosial dan bidang kehidupan lainnya. Dengan demikian bisa dicegah adanya hubungan khusus diantara keduanya. Walhasil interaksi laki-laki dengan wanita bisa terjaga dari hal-hal menyimpang seperti gaul bebas dan seks bebas yang justru merendahkan martabat kemanusiaannya. Dengan terjaganya hubungan laki-laki dan perempuan dari penyimpangan, niscaya kehidupan masyarakat menjadi tenang dan diliputi kesucian.
Hubungan khusus antara laki-laki dan perempuan hanya boleh dalam ikatan pernikahan. Hubungan pernikahan dalam rangka melestarikan jenis manusia. Jadi tujuan pernikahan yang mendasar adalah menghasilkan keturunan.
Oleh karena itu untuk terwujudnya tujuan pernikahan tersebut, antara suami dan istri harus menyadari hak dan kewajibannya masing-masing. Hak dan kewajiban ini disesuaikan dengan karakter penciptaannya.
Laki-laki dengan karakter maskulinnya, Islam telah menetapkan baginya sebagai kepala keluarga. Kepala keluarga berkewajiban mendidik, melindungi dan menafkahi istri dan anak-anaknya. Sedangkan dengan karakter feminimnya, Islam menetapkan bagi perempuan kewajiban untuk menyusui, mengasuh, dan mendidik anak-anaknya. Termasuk melayani suaminya dengan baik. Dengan melakukan kewajibannya masing-masing, keluarga akan menjadi tenang dan penuh Cinta kasih. Keduanya menyadari bahwa apa saja ditetapkan Islam tentu untuk kebaikan keluarga dan masyarakat.
Melalui keluarga yang dibangun dengan kesadaran dan kerjasama di antara suami-istri, tentunya akan bisa dilahirkan generasi penerus yang baik dan berkualitas. Seorang istri bisa mencurahkan perhatian kepada anak-anaknya selaku ibu. Walaupun memang seorang perempuan termasuk istri dibolehkan berkiprah dalam kehidupan publik seperti dalam politik, sosial, ekonomi dan lainnya. Pelaksanaan kiprahnya dilakukan dengan syarat tidak melalaikan kewajibannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Adapun terkait dengan penyimpangan dalam reproduksi seksual, Islam sudah mengaturnya dalam seperangkat sistem sangsi. Sistem sangsi Islam terdiri dari hudud, jinayat, takzir dan mukholafat. Terkait aktifitas donor sperma, donor ovum dan sewa rahim dipandang sebagai kejahatan serius yang merusak nasab keturunan. Oleh karena itu sangsi terhadap kejahatan tersebut dalam bab takzir. Sangsi dalam takzir menjadi hak negara yang menetapkannya. Walhasil tidak akan pernah ada tumpang tindih regulasi dalam aturan Islam, apalagi menjadikan timbangan mendesak dan atau tidaknya sebagai asas aturan.
Islam memberikan aturan hidup yang lengkap. Aturan hidup Islam menjadi Rahmat bagi seluruh alam. Islam tidak perlu menunggu suatu kerusakan terjadi, baru aturan hukum disusun. Aturan Islam itu berfungsi sebagai pencegah dan penebus dosa. Regulasi aturan hidup yang demikian tentunya akan mampu mewujudkan ketahanan keluarga.