
Istimewa
Malang – Dyah Limpa adalah seorang Rakryan Patang Juru yang tinggal di Gasek (kini nama dukuh itu di Kelurahan Karangbesuki, Kota Malang). Rakryan mendapat hadiah tanah dari Sri Maharaja. Penyerahan itu diwakili Rakryan Pamotoh dan Rakryan Kanuruhan.Tanah yang dihadiahkan itu diantaranya di sebelah Timur tempat berburu yang bernama Malang.
Pada salah satu bagian lempeng prasasti itu tertulis (dalam bahasa Sansekerta) : ...taning sakrid Malang-akalihan wacid lawan macu pasabhanira Dyah Limpa Makanagran i…yang artinya : …di sebelah timur tempat berburu sekitar Malang bersama wacid dan mancu, persawahan Dyah Limpa yaitu…
Daerah lain yang dihadiahkan meliputi kawasan Malang dan sekitarnya. Beberapa diantaranya disebutkan juga dalam Pararaton adalah Malang, Kabalan, Gadang, Sagenggeng, Talun, Gasek, Wurangdungan, Dau, Syifa dan Paniwen.Gadang saat ini menjadi wilayah Kelurahan Sukun, Kota Malang. Paniwen mungkin yang terletak di dekat Sumberpucung atau sebelah barat Bakalan Krajan
Sedang nama Desa Marinci sekarang menjadi Dusun Perinci di Desa Gadingkulon, Kecamatan Dau. Prasasti ini ditulis di daerah Talun. Saat ini di daerah Klojen, Kota Malang juga ada nama Talun.Prasasti ini diresmikan pada tanggal 6 bulan Posha (Desember-Januari) tahun 1120 Saka (1198 M), hari Wurukung, Pahing, dan Saniscara.
Dari prasasti itu Malang merupakan sebuah tempat di sebelah Timur dari tempat-tempat yang disebutkan dalam prasasti itu, dan ditemukan bukti bahwa penggunaan nama Malang telah ada paling tidak sejak abad XII.
Mengutip dari Wikipedia, nama Malang merujuk pada sebuah daerah di timur Gunung Kawi. Meski telah diketahui bahwa penggunaan Malang setidaknya telah berlangsung sejak abad ke-12 Masehi, tidak bisa dipastikan asal mula penamaan wilayahnya.
Hipotesis pertama merujuk pada nama sebuah bangunan suci bernama Malangkuçeçwara (diucapkan [malaŋkuʃeʃworo]). Bangunan suci itu disebut dalam dua prasasti Raja Balitung dari Mataram Kuno, yakni Prasasti Mantyasih tahun 907 Masehi dan Prasasti 908 Masehi.
Para ahli masih belum memperoleh kesepakatan di mana bangunan itu berada. Di satu sisi, ada sejumlah ahli yang menyebutkan bahwa bangunan Malangkuçeçwara terletak di daerah Gunung Buring, suatu pegunungan yang membujur di sebelah timur Kota Malang di mana terdapat salah satu puncaknya bernama “Malang”.
Di sisi lain ada yang menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan suci itu terdapat di daerah Tumpang, Kabupaten Malang. Di daerah itu, terdapat sebuah desa bernama Malangsuka, yang menurut para ahli sejarah berasal dari kata Malangkuça (diucapkan [malankuʃoː]) yang diucapkan terbalik. Pendapat ini diperkuat oleh keberadaan peninggalan-peninggalan kuno di sekitar Tumpang seperti Candi Jago dan Candi Kidal yang merupakan wilayah Kerajaan Singhasari.
Nama Malangkuçeçwara terdiri atas tiga kata, yakni mala yang berarti kebatilan, kecurangan, kepalsuan, dan kejahatan, angkuça (diucapkan [aŋkuʃo]) yang berarti menghancurkan atau membinasakan, dan içwara (diucapkan [iʃworo]) yang berarti Tuhan. Karena itu, Malangkuçeçwara berarti “Tuhan telah menghancurkan yang batil”.
Hipotesis kedua merujuk sebuah kisah penyerangan pasukan Kesultanan Mataram ke Malang pada 1614 yang dipimpin oleh Tumenggung Alap-Alap.
Menurut cerita rakyat, terdapat sebuah percakapan antara Tumenggung Alap-Alap dengan salah satu pembantunya mengenai kondisi wilayah Malang sebelum penyerangan dimulai. Pembantu dari Tumenggung Alap-Alap tersebut menyebut warga dan prajurit dari daerah tersebut sebagian penduduk yang “menghalang-halangi” (malang dalam Bahasa Jawa) kedatangan dari pasukan Mataram. Setelah penaklukan tersebut, pihak Mataram menamakan daerah itu Malang. (bbs/ekn)