Malang – Belum lama ini, umat Islam kembali dihadapkan pada sikap penghinaan terhadap nabi Muhammad SAW. Kali ini pelakunya seorang kepala negara.
Reaksi pun terjadi. Pemboikotan produk Perancis dilakukan. Ini sebagai bentuk pembelaan terhadap junjungannya.
Mencintai dan membela Rasulullah, hukumnya wajib. Banyak cara melakukannya. Salah satunya dengan meneladani dan menerapkan akhlak kenabiannya.
Berikut ini tausiyah disampaikan Pradana Boy ZTF MA Ph.D, Asisten Rektor UMM kepada Harian DI’s Way Malang Post.
———————————————————————————————————————
Saat mulai menapaki kehidupan pasca-hijrah, Nabi Muhammad berusaha membangun jalan damai. Komunikasi dengan sejumlah suku yang lebih dulu menghuni Madinah.
Tak terkecuali dengan suku Yahudi. Sejumlah suku menerima inisiatif itu. Namun, kaum Pagan, tiga suku Yahudi (Qaynuqa, Nadlir dan Quraiyzah) menolak.
Mereka memandang umat Islam sebagai ancaman. Ketiga suku itu membangun aliansi dengan kaum kafir Quraish di Makkah.
Untuk menghancurkan umat Islam. Menariknya, mereka bergerak sendiri-sendiri.
Tahun 625 M, Banu Qainuqah melancarkan perlawanan kepada Nabi Muhammad. Pemberontakan itu gagal.
Adat Arab mengharuskan pengusiran bagi suku yang berkhianat. Maka, Banu Qainuqah pun diusir keluar Madinah.
Nabi kemudian melakukan pendekatan. Bermaksud menyepakati perjanjian dengan suku lainnya, Nadlir.
Belakangan Nabi mengetahui, Nadlir merencanakan pembunuhan kepadanya. Mereka pun diusir.
Dalam pengasingan, Banu Nadlir membangun aliansi dengan Suku Khaybar. Banu Nadlir terbukti lebih berbahaya ketika berada di luar Madinah, daripada saat di Madinah.
Karena rangkaian peristiwa itulah, pada saat Banu Qurayzah memihak kafir Quraish dalam Perang Khandaq, dan kaum Muslimin hampir mengalami kekalahan.
Sekitar tujuh ratus orang dari Suku Qurayzah dibunuh. Sementara kaum perempuan dan anak-anak dijual sebagai budak.
Jika melihat jumlah korban terbunuh, peristiwa yang mengerikan ini akan terlihat sebagai kekejaman umat Islam kepada musuh.
Akan tetapi, peristiwa ini harus dilihat dalam konteks dan situasi yang lebih luas.
Sejarawan dan ahli agama berkebangsaan Inggris, Karen Amstrong, dalam bukunya, Islam: A Short History, memberikan pandangan jernih.
Ia menganjurkan agar peristiwa itu jangan dinilai dengan standar zaman kita hari ini.
Alasannya, “…the Muslims themselves had just narrowly escaped extermination, and had Muhammad simply exiled the Qurayzah they would have swelled the Jewish opposition in Khaybar and brought another war upon the ummah.”
(“…kaum Muslimin sendiri hampir dienyahkan, dan seandainya Muhammad hanya mengusir Banu Qurayzah, mereka akan memperbesar perlawanan Yahudi di Khaibar dan menyulut peperangan lainnya bagi umat Islam)”.
Menurut Amstrong, hukum tradisional yang berlaku di kalangan masyarakat Arab pada saat itu.
Menyatakan, seorang pemimpin sama sekali tidak diharapkan menampakkan belas kasihan kepada pengkhianat seperti Banu Qurayzah. (roz/jan/bersambung)