Sejarawan Malang M. Dwi Cahyono pernah menyampaikan orasi Batik Malangan pada 1 April 2019. Dalam orasi itu, ia menyebut batik Malangan bukan sekadar batik yang diproduksi dan dibuat oleh perajin Malang.
Tetapi lebih dari itu. Batik Malangan menurutnya adalah batik yang berornamen kedaerahan, bernuansa warna maupun berteknik tulis atau cap “khas Malang”.
“Ciri khusus, karakter yang khas Malang, itulah indikator utama dari Batik Malangan,” tulis Dwi Cahyono.
Ia juga kembali mempertanyakan apakah saat ini Batik Khas Malangan telah terwujud atau hanya ilusi belaka. Hanya berupa topeng, tugu, dan terataikah, ragam hias batik khas Malang?
Ia menyebut sebenarnya jauh lebih kaya dari sekadar itu. Masing-masing daerah menurut Dwi memiliki sumberdaya ekologis, sosial, dan kultural yang dapat dijadikan referensi untuk memformulasikan batik khas daerahnya. Malang memiliki sumber daya daerah yang dapat dieksplorasi menjadi sumber pecarian desain batik khas daerah Malang.
Kota Malang yang dalam lintas masa menjadi pusat peradaban semestinya tak bakal kekeringan akan unsur ornamentik untuk didesain menjadi desain batik khas Malang.
Terlebih lagi, bukti ikonografis menunjukkan bahwa pada masa Singhasari busana berbatik tulis hadir. Malang sebagai kadatwan Singhasari, adalah muasal busana batik tulis Nusantara.
“Lihatlah, keanggunan dan pesona putri Ken Dedes. Dedes matang ber-ngadisarira, ber-ngadibusana. Kain panjang berbatik tulis halus yang dikenakan, menjadi pembukti akan “mula busana batik tulis”,” tulis Dwi Cahyono.
Dengan demikian, Malang memiliki cukup alasan untuk tampil menjadi sentra undagi “batik heritage Nusantara”.
Ia menyebut, batik telah riil hadir di Malang pada masa Pemerintahan Singhasari. Batik Malang bukan sekadar batik yang diproduksi di daerah Malang. Namun, lebih dari itu memiliki motif hias yang berakar pada tradisi seni yang menyejarah di Malang Raya.
“Jangan keburu buat klaim “khas Malang” sebelum karakter lokal dan akar tadisi ornamentik setempat dieksplorasi, dipahami, dan sungguh dijadikan sebagai eferensi dalam proses pembatikan,” pungkas Dwi.(Hari Istiwan-Eka Nurcahyo)