AMEG – Pembacaan nota pembelaan untuk dua terdakwa kasus gratifikasi di Kab Malang sudah digelar dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (30/3) lalu. Untuk terdakwa Rendra Kresna (Nomor Perkara 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby) dibacakan tim penasihat hukumnya, Haris Fajar Kustaryo SH, Meftahurrohman SH dan Dian Aminudin SH.
Sedangkan pembelaan untuk terdakwa Eryk Armando Talla (Nomor Perkara 82/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby) dibacakan tim penasihat hukumnya, Iki Dulagin SH MH dan Meka Dedendra SH. Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim I Ketut Suarta SH MH. Sementara JPU (Jaksa Penuntut Umum) KPK yang hadir di ruang sidang adalah Arif Suhermanto. Kedua terdakwa mengikuti jalannya sidang secara online. Rendra Kresna dari Lapas Porong, Sidoarjo dan Eryk Armando Talla dari Rutan KPK, Jakarta.
Berikut petikan wawancara wartawan Harian DI’s Way Malang Post, Aziz Tri P dengan JPU KPK Arif Suhermanto, seusai sidang berlangsung. Terkait dengan hal-hal yang mencuat dalam pembacaan nota pembelaan dua terdakwa tersebut.
Bagaimana tanggapan Anda tentang pembacaan pembelaan dua terdakwa, Eryk Armando Talla dan Rendra Kresna? Misalnya, dari pihak Eryk yang mempertanyakan, mengapa sebagai justice collaborator (JC), tuntutannya kok sama dengan pelaku utama, dalam hal ini Rendra Kresna?
Untuk Eryk Armando Talla, tentu saja itu tidak sama. Karena yang bersangkutan sudah diberi hak sesuai UU, yaitu diberikan tuntutan paling ringan dengan statusnya sebagai justice collaborator. Maka sesuai Pasal 12 B itu, gratifikasi, minimalnya memang 4 tahun. Kami sebagai JPU tentu tidak mungkin menuntut di bawah itu. Karena 4 tahun itu adalah tuntutan yang paling ringan dalam pasal tersebut. Artinya apa, ini sudah yang paling ringan untuk terdakwa Eryk Armando Talla.
Bagaimana dengan status pegawai negeri atau penyelenggara negara. Pihak Eryk berkilah karena dia bukan pegawai negeri dan bukan penyelenggara negara, maka tuntutan JPU itu tidak terbukti.
Itu ‘kan persepsi penasihat hukum terdakwa saja. Padahal konstruksi Pasal 55, konstruksi untuk pelaku turut serta dalam perbuatan pegawai negeri atau peyelenggara negara, itu tidak harus dia menjadi pegawai negeri juga. Tetapi dia bekerja sama dengan penyelenggara negara.
Konteks di kasus ini, terdakwa Eryk merupakan pelaku turut serta yang bersama-sama dengan penyelenggara negara, yaitu Bupati Rendra Kresna. Dan itu sudah diatur dalam konstruksi hukum Pasal 55 KUHAP, juga konstruksi Pasal 11 UU KPK yang menjadi kewenangannya, siapa-siapa yang jadi domain orang-orang yang ditangani oleh KPK.
Ini terkait uang pengganti (UP). Di dakwaan, uang yang dinikmati terdakwa Eryk Armando Talla itu Rp 4,8 miliar. Mengapa di tuntutan JPU, uang pengganti yang harus dibayar Eryk hanya Rp 895 juta. Perbedaannya bagaimana?
Terkait dengan Rp 4,8 miliar itu, sekali lagi saya katakana, yang bersangkutan didakwa bersama-sama dengan Rendra Kresna. Jadi bukan sendiri-sendiri. Rendra Kresna juga menikmati sebagian dari uang tersebut. Dan Eryk Armando Talla juga menikmati sebagian uang itu.
Tentu saja dalam konteks uang pengganti dikembalikan pada pihak-pihak yang menikmati uang tersebut. Kita proporsional. Seberapa proporsionalnya bagian yang dinikmati Rendra Kresna dan seberapa proporsionalnya bagian yang dinikmati Eryk Armando Talla. Jadi nominal uang pengganti yang kami cantumkan di tuntutan, itu adalah perhitungan yang proporsional seberapa banyak yang bersangkutan menikmati hasil korupsi.
Dilihat dari uang pengganti yang harus dibayar Rendra Kresna Rp 6.075.000.000 dan uang pengganti Eryk yang Rp 895.000.000, berarti asumsinya, sebagian besar uang gratifikasi itu mengalir ke Rendra Kresna?
Memang faktanya demikian.
Meskipun berkali-kali dalam persidangan terdakwa Rendra Kresna membantah menerima uang gratifikasi yang disetorkan Eryk Armando Talla?
Soal membantah, mengingkari itu haknya terdakwa. Tapi berdasarkan alat bukti juga keterangan saksi yang dihadirkan dalam persidangan, telah mengerucut dan meyakinkan bahwa terdakwa Rendra Kresna menikmati uang-uang yang diterima terkait proyek-proyek di Pemkab Malang. Itu diwujudkan untuk kepentingan terdakwa. Baik kepentingan pembangunan apa pun itu, tapi semua itu untuk kepentingan yang bersangkutan.
***
Seperti diketahui, dalam sidang sebelumnya, Selasa (16/3/2021) lalu, JPU KPK sudah membacakan tuntutan untuk dua terdakwa kasus gratifikasi di Kab Malang. Terdakwa Rendra Kresna dan Eryk Armando Talla dituntut hukuman pidana masing-masing 4 tahun penjara.
Terdakwa Rendra Kresna, selain tuntutan pidana 4 tahun penjara juga dituntut denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan dan diharuskan membayar uang pengganti (UP) sebesar Rp 6.075.000.000 subsider pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan. Untuk UP, pihak Rendra Kresna sudah menitipkan uang Rp 2 miliar. Berarti masih kurang Rp 4.075.000.000 yang akan dibayar lewat lima rekening Rendra yang diblokir KPK dan isinya sekitar Rp 8,1 miliar.
Sedagkan terdakwa Eryk Armando Talla yang notebene seorang pengusaha dan orang kepercayaan Rendra Kresna, selain dituntut hukuman pidana 4 tahun penjara, juga dituntut denda Rp 265 juta subsider 6 bulan kurungan dan diharuskan membayar uang pengganti (UP) Rp 895.000.000 subsider pidana penjara 1 tahun 6 bulan. Pihak Eryk sudah mentitipkan uang Rp 500 juta, jadi untuk UP masih kurang Rp 395 juta. (jan)