AMEG – Pengamat kepolisian Institut for Security and Strategic Studies (ISeSS), Bambang Rukminto menegaskan kepolisian harus bisa mengusut tuntas dalang di balik aksi teror di Mabes Polri.
Dijelaskan, Mabes Polri adalah etalase Kepolisian Nasional. Bukan saja dilihat oleh masyarakat umum. Namun, juga menjadi perhatian kalangan kepolisian Internasional.
Menurutnya, ada dua pihak yang harus bertanggung jawab pada insiden itu. Yakni internal, dalam hal ini yang bertanggung jawab atas pengamanan Mabes Polri. Dan eksternal, yakni pihak yang mendalangi aksi ZA, pelaku teror yang tewas tetembak petugas.
“Makanya ini tidak cukup selesai berhenti pada tewasnya pelaku saja tetapi harus diusut siapa yang bertanggung jawab pada aksi itu, baik di internal maupun eksternal. Di internal, siapa pihak yg bertanggung jawab terkait pengamanan mabes Polri. Di eksternal, tentunya jaringan siapa dibalik ZA,” ujar Bambang kepada Ameg.id.
Serangan di Mabes Polri tersebut, tentunya menjadi keprihatinan bagi sejumlah pihak. Dan menurutnya, aksi tersebut seharusnya menjadi tamparan keras bagi institusi kepolisian. Menurut Bambang, Polri sebagai lembaga yang diberi amanat negara sebagai lembaga keamanan negara, malah diserang oleh pelaku terduga teroris.
“Pertama, Polri sebagai lembaga yg diberi amanat negara sebagai lembaga keamanan negara ternyata tak bisa menjaga keamanan markas besarnya sendiri dari serangan keamanan apapun bentuknya, teroris atau bukan,” tegasnya.
Ditambahkan, pelakunya terlihat amatir. Yang artinya, menurut Bambang, kepolisian tidak prediktif terhadap adanya serangan pada markas besarnya.
“Padahal, beberapa minggu terakhir, aksi penangkapam terduga teroris dilakukan secara masif di beberapa daerah. Juga ada serangan bom bunuh diri di Makasar. Ini menunjukkan kelemahan sistem pengamanan di Mabes Polri. Kalau ini terjadi pada anggota Satuan Pengamanan harus ada pihak yg bertanggung jawab dan dipecat,” jelasnya.
Kedua, terkait dengan penindakan pada pelaku yang beraksi sendirian atau tunggal. Yang saat itu, langsung ditembak di tempat. Menurutnya, ini menjadi contoh bagaimana kepolisian memperlakukan seorang pelaku tindak kejahatan, pun seorang pelaku teror.
“Tidak ada upaya negosiasi dengan pelaku lebih dulu. Dalam video yg beredar, malah menunjukkan kepanikan anggota polisi di pos penjagaan, Tak ada unit anti teror yg datang menangani. Semua serba cepat, dan pelaku ditembak mati. Dalam konteks pelaku teror, menyerang markas besar kepolisian tentu resikonya adalah kematian. Makanya di tembak mati itu jelas diharapkan pelaku,” jelas Alumni UNAIR ini.
Selain itu, dari perspektif seorang pengamat, Bambang melihat tidak ada upaya tindakan preventif pencegahan yang lebih humanis dan bertujuan untuk meminimalisir jatuhnya korban. Apalagi, dengan jumlah anggota polisi yang profesional, dirinya menilai hal tersebut tidak sebanding untuk menghadapi seorang pelaku perempuan yang amatir.
“Seharusnya pelaku cukup dilumpuhkan, bukan ditembak mati. Rasio antara polisi dan pelaku yang tunggal, seharusnya bisa untuk cukup melumpuhkan bila anggota tidak panik dan profesional. Makanya, bila pada umumnya target tujuan terorisme adalah menebarkan ketakutan, pelaku ZA atau otak di baliknya berhasil membuat target tujuan lain, yakni mempermalukan kepolisian kita,” pungkas Bambang.(*)