Pandemi covid 19 adalah bencana. Masuk kategori bencana karena hal tersebut adalah bencana non alam yang melanda manusia. Dalam perkembangan pandemi di dunia, kita juga tidak bisa lupa dengan pandemi flu Spanyol 1918, yang begitu menggemparkan dunia, sehingga ketika pandemi covid 19 muncul, akhirnya kita banyak belajar dari cara bagaimana pandemi flu tersebut ada dan belajar tentang sejarah pandemi di dunia. Terlepas dari itu, menarik bahwa pandemi covid 19 mengajarkan, bukan hanya bagaimana kita mengatasi masalah yang muncul, tapi bagaimana bertahan hidup. Terhadap hal itu, kita telah melakukan banyak hal, termasuk patuh pada protokol kesehatan.
Sejalan dengan itu, semua sektor memang terdampak, dan semuanya juga telah berupaya mengatasi problem besar ini, dengan mencari solusi bertahan di tengah pandemi. Namun demikian, salah satu sektor yang sepertinya tidak mengalami kendala adalah teknologi informasi. Untuk kita ketahui, sektor ini justru menjadi sektor yang paling tetap bertahan bahkan mengalami pengembangan. Betapa tidak, di tengah pembasan aktivitas untuk berkontak langsung dengan orang lain, dan mewajibkan semua untuk melaksakan kegiatan secara online, sektor ini menjadi pilihan dan primadona. Itu fakta yang ada kini. Maka pola interaksi dengan sesama yang berplatform online, membuka seluas-luasnya kesempatan untuk menggunakan teknologi dan informasi ini.
Dari upaya untuk tetap beraktivitas walaupun melalui platform online, pola komunikasi menggunakan teknologi dan informasi ini, membentuk masyarakat yang jaring menjaring atau masyarakat jaringan. Dalam memahami apa dan bagaimana masyarakat jaringan itu, penulis bertolak dari pemikiran Manuel Castells, dalam karya Barnabas Ohoiwutun berjudul “Masyarakat Jaringan Menurut Manuel Castells”. Masyarakat jaringan secara paling sederhana dipahami sebagai struktur sosial masyrakat yang berbasis pada teknologi komunikasi dan informasi yang dijalankan oleh jaringan, yang bersumber pada jaringan komputer digital di mana didalamnya ada proses produksi dan distribusi informasi, di atas pengetahuan yang terhimpun pada pusat jaringan. (Ohoiwutun, 2020: 101). Pendek kata, masyarakat jaringan adalah pola interaksi masyarkat yang berbasis jaringan yang mengandung proses produksi dan distribusi informasi.
Dalam masyarakat jaringan tercipta keterkaitan orang dalam suatu jalinan kepentingan bersama yang melampaui batas-batas seperti negara, daerah, etnis dan lain sebagainya. Perkembangan masyarakat jaringan ini, telah mendorong transformasi masyarakat di segala bidang. Lahirnya berbagai kegiatan dalam jaringan seperti komunikasi jaringan, dan berbagai kegiatan dalam jaringan, menandai proses transformasi ini. Tapal batas seperti daerah, etnis dan lain-lain, mulai mengabur dengan mengentalnya kepentingan bersama yang melampaui batas-batas tersebut. (Muhtar Habibi, 2011). Interaksi dalam jaringan ini, menegaskan bahwa antara satu dengan yang lainnya di tempat yang berbeda seakan tidak tampak.
Di saat pandemi seperti sekarang ini, pola komunikasi masyarakat semakin berubah dan berbeda. Sejak adanya teknologi informasi, semua kegiatan seperti merancang, mengembangkan, memproduksi, menyimpan, menyampaikan, dan menyebarkan informasi berbasis komputer, semua dilakukan dengan mudah di dalam jaringan internet. Internet pulalah yang menciptakan ruang maya, di mana kita bisa berkomunikasi satu dengan yang lain secara virtual-online, sehingga membentuk masyarakat jaringan itu. (Supelli dalam Hardiman, 2010: 336).
Kendati demikian, terbentuknya masyarakat jaringan sering diperdebatkan, dalam arti sering dipertanyakan soal ‘virtual reality’. Menjawab hal ini Supelli menegaskan bahwa di dalam dunia maya, orang bukan hanya sekedar berhadapan dengan piranti teknologi, tetapi membenamkan seluruh indera dan tubuhnya ke dalam lingkungan interaktif yang dibangun oleh komputer. (Ibid. 339). Maka dengan demikian, pola interaksi dalam dunia maya yang membentuk masyarakat jaringan itu, jaringan-jaringan yang ditopang teknologi informasi memungkinkan koordinasi serta mengelola kompleksitas dalam suatu sistem interaksi timbal-balik dan pola komunikasi dari mana pun dan kapan pun. Pendek kata, hal tersebut menyatakan bahwa munculnya teknologi informasi adalah stimulus utama lahirnya masyarakat jaringan. Teknologi informasi telah mendorong lahirnya jaringan informasi.
Sejurus dengan itu, laman https://www.bppt.go.id/layanan-informasi-publik/4004-pandemi-covid-19-momentum-wujudkan-transformasi-digital, menguraikan bahwa saat ini telah terjadi transformasi digital yang disebabkan oleh berkembangannya masyarakat jaringan. Berbagai langkah dalam berkomunikasi yang menggunakan teknologi informasi, telah turut memperkuat proses transformasi digital. Oleh karena itu, maka peluang terbesar saat ini adalah bagaimana sikap adaptif kita, bisa semakin dimaksimalkan. BPPT pun telah menginisiasi transformasi digital, khususnya dalam layanan perkantoran sejak tahun 2019 yang lalu Oleh karenanya, momentum pandemi ini memberikan alasan yang kuat untuk sesegera mungkin mewujudkan transfromasi digital itu.
Apa yang paling kita butuhkan terkait masyarakat jaringan sebagaimana telah diuraikan di atas? Ohoiwutun menguraikan, berdasarkan uraian Castells, dan ini menjadi simpulan penulis atas konsep masyarakat jaringan, adalah: Dunia kini telah berada dalam sebuah zaman baru, kendati itu nanti menjadi semakin populer di saat ini (masa pandemi). Zaman baru dengan berkembangnya masyarakat jaringan ini, adalah sebuah situasi di mana teknologi informasi berperan penting dalam membentuk sekaligus mentransformasi kebudayaan dan peradaban.
Praktisnya, transformasi dalam budaya (budaya jaring menjaring) yang terjadi kini, demikian saya menyebutnya untuk dunia dan realitas kini, adalah ‘impact’ dari masyarakat yang jaring menjaring dalam teknologi informasi. Dan lebih praktis lagi tampak dalam penggunaan ‘smartphone’, pemanfaatan teknologi digital, pemaksimalan kegiatan berbasis online, termasuk model pembelajaran berplatform online, serta semakin mudahnya akses internet bahkan di seluruh penjuru dunia. (Ohoiwutun 2020: 120). Itulah dampak paling jelas dari adanya budaya yang jaring-menjaring, dan terhadap hal ini, kita butuh adaptasi mutlak.
Penulis : Ambrosius M. Loho, M. Fil. (Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado-Penggiat Filsafat)