“Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengulas serta memaparkan catatan-kritis analisis terkait kebijakan pemerintah selama penanganan Covid-19 menurut prespesktif Hukum Ketatanegaraan”
Kalau kita tilik secara mendalam, cara pemerintah menanggulangani Coronavirus Desease atau Covid-19, belum dapat dikatakan maksimal, bahkan cenderung tidak tegas. Padahal pemerintah adalah pemegang otoritas tertinggi, tentu dengan segala kewenangannya, dapat membuat aturan sedemikian rupa untuk fokus pada penanggulangan Covid-19 di berbagai aspek. Namun nyatanya, pemerintah, dalam hal ini para elit negara yang seharusnya bekerja sama, saling bahu membahu, menyatukan pemikiran, pandangan, serta langkah bersama dalam upaya pencegahan rantai Covid-19, malah cenderung jalan sendiri-sendiri dan memanfaatkan moment ini untuk mempercepat agenda politik masing-masing.
Misalnya saja, kementrian kesehatan memaksimalkan sebaik mungkin upaya pencegahan wabah virus corona, salah satunya mulai dari menyemarakkan pada masyarakat untuk pola hidup sehat, dan berbagai aspek lainya. Akan tetapi, di sisi lain kementrian Hukum dan HAM melakukan pula aktivitasnya sendiri yaitu dengan memberi remisi bebas bagi ribuan Narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan (LP). Kementrian pendidikan, juga membuat kebijakan sendiri yaitu meliburkan sekolah dan diganti dengan pembelajaran di rumah atau Via-Online, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pula sibuk dengan urusannya berusaha menggoalkan Rancangan Undang-Undang Omnibuslaw Cipta Kerja.
Hal tersebut sama sekali tidak mencerminkan gerak langkah bersama, tidak ada satu kesatuan tindakan-upaya, tidak ada sinkronisasi, tidak ada keharmonisasian antara penyelenggara negara satu dengan yang lainya. Yang seharusnya pemerintah membuat suatu gerakan yang merangkul yaitu strategis nasional dalam menghadapi kondisi tersesbut, bertujuan agar tidak terlihat kesimpang-siuran karena keadaan sekarang ini sangatlah genting dan membahayakan.
Perpu yang Menjadi Polemik
Perppu yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam menanggulangani wabah virus corona, kini menjadi banyak polemik oleh para pihak, Prof Jimly mantan ketua MK misalnya, beliau juga menyuarakan hal ini pada kuliah tamu (30/4). Beliau fokus mengkritik terkait terbitnya perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Dalam pandangannya, Prof Jimly berpostulat, bahwa perpu No/1/20 bersifat normal, atau masih hukum biasa dan bukan bersifat darurat. Selain itu, perppu tersebut melanggar konstitusi karena tidak berpacu pada Pasal 22 Tahun 1945, melainkan hanya berpatokan pada Pasal 22 UUD 1945.
Begitu pula juga, Dr. Army Wulan salah satu pakar/dosen hukum Tata Negara, mengatakan juga bahwa produk UU yang dikeluarkan pemerintahan dalam mencegah wabah coronavirusyaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan. Dalam UU tersebut seakan-akan yang menjadi tulang punggung utama dalam wabah tersebut hanya kementrian kesehatan. Sebenarnya tidak bisa sekaligus menyerahkan harapan pada kementrian kesehatan, karena wabah tersebut tidak hanya berdampak pada rana kesehatan, tapi kesemua aspek misalnya; politik, ekonomi, sosial, serta budaya. Itulah pandangan kritis kedua pakar hukum Tata Negara.
Menurut penulis sendiri, kedua pandangan tersebut memanglah benar, seharusnya pemerintah tidak hanya fokus pada satu dampak saja. Dan juga, keputusan pemerintah alangkah lebih ditelaah secara mendalam lagi, karena ketiga produk hukum yang di keluarkan pemerintah saat ini menjadi bahan perbincangan oleh masyarakat, maupun oleh kalangan aktivis hukum.
Kestabilitas ekonomi negara memanglah harus diutamakan, akan tetapi ada yang perlu dan penting dari pada itu. Yah benar, yaitu perlindungan hak asasi manusia. Pemerintah juga harus mengeluarkan UU terkait pembatasan hak warga negara (berkerumun), perlindungan warga negara yang terjangkit Covid-19 di negara lain, peribadatan haji ditunda, beribadah di tengah pandemi, masalah pendidikan, masalah ketanagakerjaan yang di mana sekarang banyak yang di PHK, dan lain-lain. Kesemua itu haruslah ada payung hukum yang rill, yaiti perppu karena keadaan sekarang ini benar-benar darurat.
Tapi ironisnya, para penyelenggara negara lain semisal badan legislatif yakni DPR, yang seharusnya fokus membahas bagaimana membuat terobosan aturan terbaru terkait penanganan wabah tersebut. Namun seolah-olah memanfaatkan waktu dan kesempatan saat partisipasi masyarakat terkurangi karena terdampak Covid-19 dengan mengesahkan RUU Cipta Kerja. Padahal RUU Cipta kerja yang kini telah Sah menjadi UU Cipta Kerja, banyak mendapat kritik keras dari berbagai elemen masyarakat. Bahkan, belakangan banyak kritik terhadapnya karena dianggap tidak sesuai prosedur pembuatan perundang-undangan.
Semoga dalam tulisan singkat ini bermnafaat terkhususnya kepada elit negara dan jajaranya. Dan, penulis berharap semoga saja kalimat per kalimat, kata perkatanya dapat membangunkan wakil rakyat yang tertidur pulas atas keadaan masyarakat, serta membuka wawasan baru terhadap persoalan ketatanegaraan.
Penulis : Helmi Rizkih Saputra, Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang